Kamis, 12 Februari 2009

SUKSES KERJA, KELUARGA DAN AGAMA



Sukses yang paripurna harus meliputi tiga pilar: sukses keluarga, sukses profesi di perusahaan dan sukses di hadapan Allah.
Pelbagai teori sosial yang memotret jati diri manusia, selalu memiliki tiga wilayah (posisi) di dalam hidupnya, yaitu sebagai makhluk individu, mahluk sosial dan mahluk religi.
Ketiga lanscape manusia tadi merupakan naluri dasar manusia yang menuntut untuk dipenuhi kebutuhannya. Menuntut untuk dipuaskan, jika tidak ada kehampaan di tengah keserba-adaan. Harus dipenuhi kebutuhannya dengan seksama dan bersama-sama. Sukses pada ketiga landscape itulah yang disebut The Holistic Succes atau sukses yang paripurna.
Dalam sejarahnya, urusan keluarga adalah landscape yang paling sering terabaikan dan tak banyak mendapat perhatian. Padahal, belakangan entitas keluarga mulai banyak mendapat sorotan. Pergeseran ego-sentris menjadi family-sentris ini sehingga banyak yang menyayangkan jika ada tokoh sukses yang tersandung masalah anak(keluarga). Sukses profesi seolah sia-sia, tatkala melihat keluarganya porak poranda, anak-anak salah asuh, kecanduan narkoba, keluarga yang tanpa harapan(hopeless). Opini publik seolah menyatakan bahwa sukses personal tak ada artinya jika gagal mengantarkan sukses keluarga.
Karena itu sukses profesi dan personal harus juga tercermin dalam kemampuannya mengantar suksesi keluarga. Jika keseimbangan itu terjadi, maka hidup terasa lebih hidup dan indah.
Keseimbangan urusan perusahaan dan kepentingan keluarga mutlak diperlukan, disini banyak keluarga kedodoran. Disaat si Bapak amat sibuk, peran, tugas dan pemberdayaan ibu menjadi amat strategis. Namun kebanyakan hanya pembagian tugas, tidak memberikan kepercayaan penuh dan ibupun tidak mempunyai komitmen penuh pada pendidikan anak-anaknya.
Perhatian orang tua sering disalahfahami sebagai kesanggupan untuk memberi dan membeli apa saja demi sukses anaknya. Yang ternyata pada prakteknya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Karena komitmen model itu hanya melahirkan anak mama yang manja kontra-edukatif dan tak tahan menghadapi tantangan.
Komitmen yang saya maksudkan justru ketegasan untuk mengantarkan anak-anak dengan integrity, responsibility, emphaty.
Menanamkan integrity(kejujuran), meskipun untuk itu harus dibayar dengan mengulang test/ujian misalnya, menanamkan kejujuran meski harus hidup penuh kesederhanaan dan keprihatinan.
Berkenaan dengan tanggungjawab (responsibility), terlalu banyak orangtua kelas menengah yang mengabaikan tanggungjawab individual anak dan mengalihkannya kepada oranglain.
Model pendidikan yang dikemas dengan penuh kompetisi, juga menghasilkan anak-anak yang tumbuh miskin dengan empaty. Yang terjadi belakangan adalah saling mengalahkan, 'membunuh' dan menjatuhkan bukan saling tolong menolong dalam perbuatan baik dan kebajikan.
Saya kira semua orangtua akan berpendapat sama, bahwa sehebat dan sesukses apapun dalam profesi, tak ada yang lebih membanggakan ketika pulang dari kesibukan bisnisnya disambut anak-anak yang berahlaq dan berprestasi. Inikah Qurrota a'yun yang sering kita panjatkan dalam doa kita?
Keterampilan sukses mengantar suksesi tidak hanya untuk perusahaan, namun juga berlaku untuk keluarga. Membangun komitmen fokus dan tulus pada pendidikan anak, harus ditularkan pada istri.
Sementara belajar keras dan cerdas harus ditanamkan ke anak-anak, seperti kultum yang sering saya pesankan saat usai sholat jamaah,"Anak-anak, keraslah pada dirimu sendiri, niscaya semesta akan lunak/lembut kepadamu, sebaliknya jika kalian lunak pada diri sendiri(tidak punya disiplin diri), maka semesta akan keras padamu".
(Disalin dari Buku Mission INI Possible. Penulis: Misbahul Huda)

Tidak ada komentar: