Minggu, 02 Januari 2011

Jangan Menyalahkan Orang Lain


Dari Abu Hurairah Ra., bahwasanya Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: "Jika ada seseorang berkata, "orang banyak (sekarang ini) sudah rusak, maka orang yang berkata itu sendiri yang paling rusak di antara mereka." (HR. Muslim)

Keterangan
Imam Nawawi ketika menulis Hadits ini dalam kitab Riyadhus-Shalihin, beliau memberikan penjelasan seperti berikut: "Larangan semacam di atas itu (larangan mengatakan orang banyak telah rusak) adalah untuk orang yang mengatakan sedemikian rupa dengan tujuan rasa bangga pada diri sendiri, sebab dirinya tidak rusak, dengan tujuan merendahkan orang lain dan merasa dirinya lebih mulia daripada mereka. Maka yang demikian ini adalah haram.

Adapun orang yang berkata seperti ini karena ia melihat kurangnya perhatian orang banyak terhadap agama mereka serta didorong oleh perasaan sedih melihat nasib yang dialami oleh mereka, dan timbul dari perasaan cemburu terhadap agama, maka perkataan itu tidak ada salahnya.

Hadits ini sengaja diletakkan di permulaan buku ini supaya menjadi suatu peringatan kepada Umat Islam bila menerangkan Hadits-hadits akhir zaman seperti apa yang dituliskan di sini yang banyak menyingkap tentang kemunduran umat Islam dan kemerosotan moral mereka.

Oleh karena itu, kita coba mengaitkan hadits-'hadits tersebut dengan realitas umat Islam dewasa ini, maka janganlah kita merasa bangga dan 'ujub dengan diri sendiri, bahkan hendaklah kita menegur diri kita masing-masing dan jangan seenaknya menuding orang lain. Walaupun kerusakan moral umat Islam dewasa ini perlu dibicarakan untuk tujuan perbaikan, namun penyingkapannya itu perlu dalam bentuk yang sehat dan dengan perasaan yang penuh kasih sayang serta dengan rasa cemburu terhadap agama, bukan dengan perasaan bangga diri dan memandang rendah kepada orang lain.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan limpah karunia-Nya mencucuri kita rahmat, taufiq dan hidayah.
Read More..

Mudahnya Menyalahkan Orang Lain


Setiap manusia itu tempatnya salah dan lupa. Maka sudah menjadi kewajiban kita-lah untuk selalu memohon ampun kepada-Nya. Serta rajin mencatat segala sesuatu supaya tidak mudah lupa dan gampang salah.

Saya rasa, kita semua memahami akan hal itu. Namun kenapa seringkali kita menutup mata akan fakta ini. Serta terus mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan mengumbar-ngumbarnya ke banyak orang? Sadarkah kita, bahwa mencari kesalahan orang lain itu sangatlah gampang….

“Semut di seberang pulau bisa ditampakkan bagaikan gajah”

Biasanya mahasiswa (seperti saya) adalah yang paling hobi mencari kesalahan orang lain. Melihat dosennya salah nulis, langsung diprotes. Melihat rekannya salah ngomong, langsung diprotes. Pendek kata, melihat orang lain dan menemukan kesalahan adalah kepandaiannya… Apalagi kalo sudah pakai jurus pokoknya™. Wah semakin hilanglah martabat orang lain.

Memang mencari kesalahan akan mudah dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan. Seperti mahasiswa itu contohnya. Apalagi kalo mahasiswa tingkat graduate, wah pasti lebih jago lagi cara cari kesalahan orang lain. Apalagi (lagi) kalo seorang Profesor, mantan pejabat lagi, wah pasti jago banget…

“Gajah di depan mata, akan ditampakkan bagaikan semut”

Kalo paragraf di atas kita amini kebenarannya, ini berarti petaka tambahan dari sistem pendidikan kita. Pendidikan yang harusnya menghasilkan anak didik bermoral dan beretika. Ternyata hanya menghasilkan orang-orang pandai tanpa moral yang memadai…

Semut itu kecil, kalo jauh ya gak kelihatan
Gajah itu besar, kalo dekat ya pasti kelihatan

Sudah selayaknyalah kita meletakkan setiap hal pada porsinya. Istilah kerennya secara proporsional. Jangan dilebihkan dan jangan pula dikurangi. Memang sekecil apapun kesalahan yang diperbuat orang lain bila dibiarkan bisa berakibat fatal. Apalagi yang besar, wah malah bisa mengganggu keseimbangan bersama…

Dan untuk itu memang harus diperbaiki, bahkan segera. Tapi lihat caranya dong…

Pantaskah menyalahkan individu ke khalayak ramai untuk kesalahan yang bersifat pribadi? Pantaskah menjelek-jelekkan orang lain ketika kita punya pandangan yang berbeda? Pantaskah kita mengubur mimpi orang lain ketika kita lihat dia menyindir kita? Apalagi individu itu seorang yunior? Ya gak level lha…

Maunya itu membenahi kesalahan atau menghina-dinakan orangnya sih???

Jangan-jangan kita menyalah-nyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahan kita sendiri. Atau untuk memperlihatkan kelebihan kita dengan merendahkan orang lain??? Atau karena kita belum begitu dewasa dalam hal kejiwaan sehingga susah menerima pendapat orang laen???

(Wah kalo diteruskan tambah jadi emosional ini, hehe…. Udah sampai sini aja dulu postingannya. Btw, jangan cari-cari semut pada gambar di atas lho ya…)

Read More..

Orang Mukmin Tidak Pernah Stress


Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman,

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)

Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)

Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah

Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia
dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)

Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)

Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs ?An Nahl: 97)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu
mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)

Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)

Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)

Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah

Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dengan keyakinannya ini Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)

Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)
Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An Nisaa’: 104)

Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan. Akan tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)

Hikmah cobaan

Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.
Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)

Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53)
Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:

[Pertama]

Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)

[Kedua]

Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan) Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)

[Ketiga]

Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal. 461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR Al Bukhari no. 6053)

Penutup

Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.

Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Rabi’ul awwal 1430 H
***
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc
Read More..

Menghadapi Istri Yang Terlalu Dominan


Seringkali dalam keluarga, sang istri bersikap terlalu dominan. Misalnya sebagai penentu terhadap suatu keputusan, pencari nafkah utama, atau sebagai pendidik utama anak. Sepantasnya, seorang suamilah yang mesti memegang kendali keluarga. Suami tetap sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja ada tugas-tugas yang tidak dapat dialihkan begitu saja pada sang istri. Idealnya, diantara mereka harus ada pembagian tugas dan kewajiban yang disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitasnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan istri terlalu dominan :

Suami
Bisa jadi istri ‘gregetan‘ terhadap sikap suami yang dianggapnya lemah. Mungkin, sikap suami yang demikian karena pola pendidikan yang salah dari orang tuanya. Suami terbiasa dimanja sehingga amat bergantung pada orang lain.

Watak Istri
Istri yang berwatak dominan, keras, dan mau menang sendiri makin menjadi-jadi jika suami tak mampu mengimbanginya. Misalnya, bila suami justru bersikap lemah, mengalah, dan menyerahkan segala sesuatunya pada sang istri.

Dampak Pada Anak
Sikap istri yang dominan, akan berdampak terhadap perkembangan sang anak. Anak akan tumbuh menjadi seorang yang tergantung. Tidak dapat lepas dari ibunya yang selalu membantunya dalam segala hal. Semua tindakan itu tanpa disadari akan mencetak anak menjadi seorang yang tidak mandiri alias serba tergantung dengan orang lain.
Dampak yang lain, anak akan lebih mengidolakan sang ibu yang dianggapnya serba bisa dan cenderung meremehkan sang ayah. Bila mengalami kesulitan, ia akan minta bantuan ibu, bukan ayah. Akibatnya, wibawa ayah tak lagi berarti di mata anak.
Tak jarang, keadaan ini baru ketahuan bila sudah memasuki gerbang perkawinan. Saat pacaran, ‘ kelemahan’ ini tidak begitu terlihat. Karena biasanya kepedulian, toleransi dan tenggang rasa masih besar. Tapi begitu menikah, terbukalah semua itu. Bagaimana bila semua itu sudah terlanjur?
Berikut Tips untuk mengatasinya :

Bila sikap dominan istri karena suami ‘lemah‘ :
*. Hindari melayani suami terus menerus. Jangan membiasakan, sehingga membuat suami terlena.
*. Berikan kesempatan pada suami untuk mengambil keputusan.
*. Ajaklah suami berbicara. Alihkan perlahan-lahan permasalahan keluarga yang seharusnya merupakan porsi suami.
*. Dukunglah suami untuk mulai berpikir bijaksana, sehingga rasa percaya diri dan harga dirinya mulai tumbuh. Ini penting untuk perkembangan selanjutnya.
*. Bila sikap dominan istri karena watak :
*. Ajaklah istri berkomunikasi. Bisa jadi, istri tidak menyadari ‘kelebihannya‘. Jangan merasa malu atau gengsi karena bila tidak segera diatasi, akan semakin berlarut-larut dan sangat merugikan wibawa atau harga diri suami.
*. Ambil alih secara perlahan-lahan apa yang seharusnya dilakukan suami, apalagi yang menyangkut kebijakan keluarga.
*. Tetap hargai apa yang telah diperbuat istri. Namun, berikanlah pengertian padanya bahwa suami mempunyai tanggung jawab yang besar dibanding istri. Tentu saja ini harus diimbangi kemampuan dan pola pikir yang bijaksana.

Read More..