Selasa, 24 Februari 2015

Utamakan Hal2 yang penting dalam hidupmu

Seorang profesor filsafat berdiri di depan kelas dengan beberapa barang di atas meja di depannya. Saat kelas dimulai, tanpa kata ia mengambil sebuah toples kaca yang besar dan kosong dan mulai mengisinya dengan batu yang berdiameter sekitar 5 cm. Dia kemudian bertanya kepada mahasiswa apakah toples itu sudah penuh. Mereka sepakat mengatakan sudah penuh. Sang profesor kemudian mengambil sekotak kerikil dan menuangkan isinya ke dalam toples. Dia mengguncang-guncangkannya dengan pelan. Kerikil-kerikil itu, tentu saja, meluncur ke daerah terbuka di antara bebatuan. Dia kemudian bertanya kepada para mahasiswa lagi apakah toples itu sudah penuh. Mereka bilang ya. Profesor mengambil sekotak pasir dan menuangkannya ke dalam toples itu lagi. Tentu saja, pasir mengisi daerah terbuka yang tersisa dari toples tersebut. Dia kemudian bertanya lagi apakah toples itu sudah penuh. Para mahasiswa menjawab dengan suara bulat “Ya.” “Sekarang,” kata profesor, “Saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupan kalian. Batu-batu ini adalah hal penting–keluarga Anda, pasangan Anda, kesehatan Anda, anak-anak Anda yakni hal-hal itu saja yang tersisa jika segalanya hilang, hidup Anda akan tetap penuh. Kerikil adalah hal-hal lain yang penting–seperti pekerjaan Anda, rumah Anda, mobil Anda. Pasir adalah segala sesuatu yang lain, hal-hal kecil.” “Jika Anda menempatkan pasir ke dalam botol yang pertama,” lanjutnya, “tidak ada ruang untuk kerikil atau batu. Hal yang sama berlaku untuk hidup Anda. Jika Anda menghabiskan seluruh waktu dan energi Anda pada hal-hal kecil, Anda tidak akan pernah memiliki ruang untuk hal-hal yang penting bagi Anda. Perhatikan hal-hal yang sangat penting untuk kebahagiaan Anda. Bermain dengan anak-anak Anda. Ajak pasangan Anda bergurau. Akan selalu ada waktu untuk pergi bekerja, membersihkan rumah, menikmati makan malam bersama, atau memperbaiki saluran air.” “Aturlah batu yang pertama–hal-hal yang benar-benar penting. Tetapkan prioritas Anda. Sisanya isilah dengan pasir.”***** Anonimous Read More..

Ulat dan Pohon Mangga

Suatu kali, seekor ulat tampak kelaparan. Di depannya, tampak pohon mangga yang sedang menghijau dengan dedaunan segar. Ulat yang sedang kelaparan pun menghampiri pohon mangga tersebut, lalu segera memanjat untuk memakan dedaunan itu. “Hei ulat, sedang apa kamu?” tegur pohon mangga. Ulat, saking laparnya, lupa meminta izin kepada pohon mangga. “Maaf, aku ke sini hanya ingin memakan sedikit dari bagian daunmu. Aku sangat lapar,” jawab ulat memelas. “Asal kamu tahu saja ya. Di sini tanahnya tandus. Daun-daun yang ada di batangku ini tidak banyak. Kalau kamu makan di sini, lalu daunku banyak yang mati, bagaimana aku akan hidup kelak?” tolak pohon mangga dengan halus. “Dan, kalau sampai daun-daunku ini habis, maka aku tak akan bisa berbunga . Aku hanya akan jadi pohon tua tanpa bisa berbuah. Pemilik pohon akan menebangku.” Ulat mengangguk, tanda mengerti kegelisahan pohon mangga. “Baiklah kalau kamu takut. Aku akan pergi, meskipun sebenarnya aku sudah tak kuat lagi. Aku benar-benar lapar dan butuh makan,” jawab ulat dengan nada berat. Terseok-seok, ia pun hendak pergi mencari makanan lain. Melihat itu, pohon mangga merasa tidak tega. Ia pun akhirnya memanggil ulat kembali. “Wahai ulat, kalau kamu pergi dengan keadaan itu, kamu bisa mati. Aku pun tidak tega. Maka, makanlah daunku. Tapi, pastikan jangan sampai membuat aku mati. Makan seperlumu saja.” Ulat pun sangat berterima kasih kepada pohon mangga karena ia bisa kembali makan. “Terima kasih, pohon mangga yang baik. Aku tidak akan melupakan jasamu. Aku berdoa, semoga hujan segera turun, sehingga membuat tanah kembali subur dan daunmu lebih lebat lagi,” ucap ulat dengan tulus. Rupanya, doa si ulat dikabulkan. Tidak beberapa lama, mendung tampak memayungi bumi. Matahari yang tadi sangat terik, pelan-pelan tertutupi awan yang siap menumpahkan hujan. Angin yang bertiup pun segera membawa hawa sejuk yang diiringi rintik hujan. Pohon mangga bersorak kegirangan. Ia kembali mendapat kesejukan sehingga tanah tandus di sekitarnya kini menyediakan air yang berlimpah untuk membuatnya subur kembali. Beberapa waktu kemudian, tampak pohon mangga makin menghijau dan rimbun daunnya. Tetapi, hingga beberapa lama, pohon mangga itu rupanya belum berbuah juga. Suatu kali, ulat yang sudah cukup lama hidup dengan memakan daun pohon mangga, berubah menjadi kepompong. Pada saatnya kemudian, ulat menjadi kupu-kupu indah. “Wahai pohon mangga temanku yang baik, kali ini tiba giliranku membantumu. Aku akan terbang mencari saripati mangga lain untuk aku bawa kemari. Semoga bisa membuatmu berbuah lebat, seperti keinginanmu.” Begitulah, mereka saling membantu. Serbuk saripati mangga yang dibawa kupu-kupu setiap kali terbang, menjadikan pohon mangga memiliki buah ranum dan manis. Sang pemilik pohon itu pun makin menyayangi pohon mangga. Ia rutin memberikan pupuk tanaman terbaik. Kini, pohon mangga yang dulu tumbuh seadanya dan bahkan nyaris mati, bisa tumbuh subur berkat kebaikannya membantu sang ulat. Keindahan saling tolong-menolong, tergambar jelas dalam kisah di atas. Perbuatan baik memang pasti akan mendapat balasan kebaikan. Demikian juga dalam kehidupan di dunia ini. Kita memang tidak pernah tahu, tidak pernah mengerti, mengenai timbal balik suatu kebaikan. Tapi, hampir selalu pasti, kebaikan itu akan membawa lebih banyak keberkahan. Kadang, datangnya pun tak kita duga-duga. Kadang di saat kesulitan, tiba-tiba ada saja yang membantu kita. Kadang, apa yang kita sebut sebagai “kebetulan” sebenarnya merupakan “buah” dari kebaikan yang dulu pernah kita lakukan. Di sinilah, konteks keikhlasan dan ketulusan dalam membantu orang lain akan membawa keberkahan dan kebahagiaan. Mungkin tidak selalu “dibalas” secepat yang kita harapkan. Tetapi saat kita “melupakan”, bisa jadi berbagai kebaikan malah datang tanpa kita harapkan. Itulah Hukum Tuhan yang universal. Karena itu, terus bawa dan tularkan kebaikan ke mana pun dan di mana pun kita berada. Mari berbagi dengan apa yang kita bisa. Baik tenaga, pikiran, waktu, atau materi. Semua itu akan menjadi “modal” sekaligus “tabungan” yang akan mengantarkan kita pada hidup penuh keberuntungan. Hidup penuh kelimpahan./Andrie Wongso Read More..

Tak Sekadar Tak Bercerai

Oleh Tri Asmoro Ada banyak pelajaran berharga yang saya temukan, sejauh ini, dalam perjalanan hidup sebagai dai dan konsultan keluarga. Berbagai rahasia besar dan kecil yang tak terduga, mengiringi sejumlah kasus yang saya hadapi, menyadarkan saya tentang arti sakinah yang sangat personal. Lengkap dengan sejumlah kejutan yang membuat saya terdiam, kaget, bahagia, terharu, dan merenung. Dan sakinah, dengan semua kata padanannya, selalu kembali kepada suasana hati yang nyaman, tenang, dan tenteram menjalani peran dan menghadapi berbagai masalah kehidupan berkeluarga dengan iman. Ia tak jauh-jauh dari kata qanaah, ridha, taat, dan sabar sebagai pengiringnya. Hati yang ikhlas dan sabar dengan apapun yang menjadi takdir hidupnya, sehingga semua aktivitasnya diarahkan untuk menggapai keridhaan Allah. Karena dalam hidup ini, tidak ada capaian yang lebih tinggi daripada keshalihan amal. Inilah aktualisasi ibadah yang sesungguhnya, dan ia menentramkan, dan ia berada dalam ketaatan kepada Allah. Maka sakinah, akan selalu beriringan dengan upaya menjalani ketaatan kepada Allah, dan bekerja keras menjauhi laranganNya. Sebagaimana Imam Hasan al Bashri pernah berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menentramkan hati seorang muslim, melebihi saat dia melihat anak, orangtua, pasangan, atau saudaranya menjadi hamba yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebaliknya, dalam kemaksiatan hanya ada gelisah, resah dan gundah gulana. Perasaan bersalah karena melanggar larangan Allah yang secara personal menimbulkan luka hati dan kecewa. Dan meski ia dibungkus dengan pencapaian materi yang mengagumkan, menuai puja puji dari orang lain, hakikatnya ia tetap menggelisahkan. Kecuali mereka yang bodoh, menghamba nikmat dunia, mati hati, atau gabungan dari ketiganya, hidup dalam maksiat itu sangat-sangat tidak nyaman. Dari sudut inilah seharusnya kita menilai sebuah keluaga, jika sakinah adalah capaian idealnya. Bahwa pada kulit yang terlihat elok rupawan, seringkali tersimpan luka batin yang mencengangkan. Sebab banyak di antara kita menilai kesuksesan sebuah keluarga dari tidak terjadinya perceraian, jumlah anak-anak yang dilahirkan beserta tingginya jenjang pendidikan, atau melimpahnya pencapaian materi dan tingginya status sosial. Faktanya, pada banyak fenomena mengagumkan itu terselip hati yang gelisah. Menangis malam-malam dalam pengaduan kepada Allah sebab beratnya beban hidup berkeluarga yang harus ditanggung. Banyak juga di antaranya yang nyaris putus asa sebab tak kuasa lagi berkompromi dengan keadaan yang menyakitkan. Tak kuat lagi berpura-pura memakai topeng kepalsuan atas nama perasaan dan peduli kepada penilaian orang lain. Sedang ‘life is too short to worry about what others think’, hidup terlalu singkat untuk khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain. Maka saya menemukan seorang ibu dalam pernikahan 28 tahun yang menderita, dalam pernikahan 15 tahun yang tersiksa, bahkan lebih dari 30 tahun yang merana. Kesemuanya dengan balutan capaian dunia yang fantastis. Yang mayoritas kita nyaris tidak percaya bahwa ada luka di dalam istana. Dalam limpahan materi yang sangat-sangat mencukupi, kesenangan dunia yang membuat iri, bahkan ada yang hampir setiap tahun umrah dan rajin datang ke majelis pengajian. Mereka berkecukupan dan tidak bercerai, jika itu yang ingin kita ketahui. Beberapa terlihat sangat islami dan bahkan menjadi aktivis keislaman. Namun jujur, mereka tidak bahagia! Menderita oleh banyak faktor yang muaranya adalah ketidaksesuaian antara apa yang terjadi di dalam keluarga dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut syariat. Dan ibarat bom waktu, perjalanan kehidupan berkeluarga yang panjang hanyalah mengantarkan mereka kepada batas waktu ledaknya. Dan saat itu terjadi, rasanya sangat menyakitkan. Saya sangat nelangsa melihat ibu yang menangis karena beban yang sangat berat. Lebih-lebih beban itu sangat personal sebab tidak mudah bagi orang lain untuk mengidentivikasinya. Bagaimanapun, sakinah adalah istilah syariat. Yang dalam realisasinya tidak bisa kita curangi dengan jalan-jalan yang melanggar syariat itu sendiri. Melakukan banyak pelanggaran agama namun berharap hidupnya sakinah, adalah hal yang aneh dan membingungkan. Sesuatu yang mustahil adanya namun banyak yang tidak mengerti. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku.” Adalah sebuah informasi tentang wajibnya meneladani beliau dalam upaya pencapaian keluarga sakinah itu. Dan ini harga mati! Bahwa pada akhirnya hidup tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan, itu kita mengerti. Namun persoalannya adalah bagaimana kita menghadapinya sesuai dengan syariat, mengembalikannya kepada Allah dan Rasul sebagai sebaik-baik jalan dan akibatnya, juga mengikhlaskan diri dalam kesabaran agar semua derita ini tidak sia-sia dan bisa menentramkan jiwa. Melihat semua masalah dengan jernih, dan jika ada pelanggaran syariat, maka bagaimana bisa bertaubat dan terus berupaya memperbaiki diri. Maka sakinah bukanlah berkompromi dengan syariat atau pelaku pelanggaran syariat meski dia adalah anggota keluarga. Kecuali ia adalah proses dakwah dan tarbiyah yang seringkali memang membutuhkan waktu. Namun bukan dalam arti mengijinkan, membiarkan, atau bahkan mengembangbiakkannya. Dan dalam hal ini, air mata saja tidak bisa menyelesaikan masalah, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan. Membiarkannya, meremehkannya sambil berharap perubahannya, seringkali hanyalah menunggu bom waktu yang meledak, menghabiskan umur, dan memanen buah yang gagal. Maka tanyakan pada hati kita, sudah sakinahkah keluarga kita? Read More..