Kamis, 12 April 2012

Berbohong ?

Mengapa berbohong? Jawaban yang paling tepat, karena ingin menyelamatkan diri sendiri dari sesuatu keadaan! Yang biasa terjadi, kita terjepit dalam situasi dan situasi itu terjadi karena kelalaian atau kesalahan sendiri. Jika kesulitan itu terjadi karena kesalahan orang lain, tentulah kita tidak berbohong karena kita dapat mencari pihak lain untuk diletakkan kesalahan itu. Tetapi sebaliknya bila kesalahan itu akibat kita sendiri, maka kita terpaksa mereka-reka alasan agar kita tidka dipersalahkan. Bila 'terlalu bijak', mereka-reka alasan, maka terjadilah kebohongan.Nampak mudah, bukan? Jadi berbohong berarti memberitahu susuatu yang tidak benar dan kita sadar bahwa hal itu tidak benar. Atau dengan kata lain, berdusta.

Dari sudut pandang Islam, sudah tentu hukumnya haram. Dari Ibnu Umar r.a. katanya: Saya dengar Rasulullah SAW bersabda, "Bagi tiap-tiap orang yang khianat (penipu) ada bendera yang dipancangkan tanda khianatnya di hari kiamat .." (HR Bukhari). Dalam sebuah riwayat diceritakan, telah datang ke Rasulullah SAW, seorang lelaki meminta nasehat. Pria itu mengaku bahwa dia tidak dapat meninggalkan satu maksiat yang biasa dilakukannya, yaitu berzina. Mendengar pengakuan jujur lelaki ini Rasulullah SAW berwasiat kepadanya, "Hanya dengan satu hal: 'Laa Takzib! (Jangan berbohong!). 'Ternyata dengan menjaga untuk tetap melaksanakan nasehat Rasulullah SAW itu, pria ini dapat menghindari perbuatan maksiat yang susah ditinggalkannya karena setiap kali dia ingin melakukan zina, dia akan ingat kepada nasihat beliau itu. "Bagaimana kalau saya ditanya oleh Rasulullah SAW? Jika saya menjawab: Tidak, berarti saya telah berbohong. Jika saya mengaku berarti saya wajib dihukum, "pikir pria tersebut sehingga telah berhenti dari berzina."

Sabda Rasulullah SAW yang maksudnya, "Ada empat hal, siapa yang melakukannya maka ia adalah seorang munafik murni.Barang siapa yang melakukan satu dari empat hal itu, maka ia memiliki salah satu sifat munafik, hingga dia meninggalkannya.(Empat sifat itu adalah) bila dipercaya ia khianat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir dan apabila bertengkar ia mengenepikan kebenaran. (Menegakkan benang basah). "(HR. Ahmad). Dari hadits yang disebutkan di atas, dapat kita pahami bahwa pembohong dikategorikan sebagai seorang munafik dan tempat mereka dalam neraka paling bawah. Maka wajar jika Rasulullah SAW menyatakan bahwa dusta atau berbohong itu termasuk dalam dosa besar. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Rasulullah AW bersabda, "Benar itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Yang berbicara benar, akan ditulis benar, yang bohong akan mendorong seseorang itu kepada kejahatan.Kejahatan itu akan membawa seseorang ke neraka dan ketika orang itu berbicara bohong, maka dia akan ditulis sebagai seorang yang pembohong. "

Selain itu, renungkan juga firman Allah SWT dalam surah al-Isra 'ayat 36 yang berarti, "Jangan kamu mengikuti sesuatu kamu tidak tahu tentang;Pendengaran, penglihatan dan hati - semua anggota itu akan tetap ditanya tentang segala yang dilakukannya. " Karenanya secara moral, jika kita tidak tahu sesuatu hal dengan jelas atau tidak sahih akan kebenarannya, jangan pandai-pandai berbicara apa-apa, karena kita mungkin bisa dituding berbohong. Meskipun pada prinsipnya, berbohong hukumnya haram, tetapi dalam keadaan tertentu, Islam memberikan kelonggaran. Namun, ia bukan dalam konteks yang terlalu ketat. Rasulullah SAW ada menyatakan, seseorang yang berbohong dengan niat ingin mendamaikan orang lain atau untuk tujuan kebaikan dalam masyarakat, dia tidak termasuk berbohong. Dalam suatu riwayat, Ibnu Kalsum berkata, beliau tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi kelonggaran untuk berbicara dalam hal yang tidak benar, kecuali dalam tiga hal: 1.Ketika peperangan. 2. Untuk mendamaikan anggota masyarakat atau organisasi yang bertikai. 3.Dalam hubungan suami istri

Ya berbohong adalah awal dari perbuatan jahat. Memang tidak nampak namun dapat dirasakan oleh orang lain. Kehidupan serba remang remang dikota besar dan label jasa wisata hanyalah cara untuk berbohong dihadapat negara yang mengakuti Allah. Korupsi yang tak pernah tuntas diselesaikan adalah cara smart untuk berbohong secara kolektive dari hadapan rakyat yang lapar keadilan. Begitu banyak kekecewaan sosial, ekonomi tak bisa dipungkiri sebagai bentuk tekhnik berbohong sudah begitu canggih karena bohong adalah seni untuk menang dan kaya raya. Ini budaya akhir zaman. Sudah menjadi penyakit seperti layaknya narkoba. Sekali berbohong maka orang akan terus berbohong dan berbohong. Karena tak mungkin menutupi kebohongan dengan kebenaran kecuali dengan kebohongan pula. Kalau sudah begini, sadarlah kita bahwa berbohong adalah dosa besar karena mengancam misi islam sebagai rahmat bagi alam semesta. So dont be liars.



Read More..

Untuk Apa Di Rumah, Bila Tanpa Ilmu

DI AWAL PERNIKAHAN, banyak suami-suami yang meminta istrinya untuk tetap tinggal di rumah atau maksimal tetap bekerja di luar rumah hingga mereka dikaruniai anak. Tak jarang, kesadaran sang istri juga mendorong mereka kembali ke rumah dan meninggalkan aktivitas mereka di ranah publik.

Kesadaran ini sungguh mulia, apalagi jika mengingat peran sentral seorang wanita sebagai ibu yang nantinya akan mengasuh anak-anak. Tentu bukan sebuah pemahaman yang baru bahwa anak tak hanya memerlukan terpenuhinya kebutuhan materi, tetapi juga kebutuhan psikis.

Namun, ada sesuatu yang terlupakan saat sang suami meminta istri kembali “pulang” ke rumah atau ketika si istri dengan kesadaran penuh meninggalkan ranah publik untuk berjibaku penuh dalam ranah domestik. Benarkah kedua belah pihak sudah siap dengan konsekuensi bila seorang istri benar-benar hanya berada di rumah?

Rumah vs Bahagia

Banyak orang yang melupakan bahwa ibu, istri, perempuan, tetap adalah manusia yang juga butuh ruang untuk mengaktulisasikan kemampuan mereka. Tentunya, setiap perempuan punya keinginan untuk bisa melakukan hal yang bermanfaat bagi banyak orang, punya teman-teman diskusi, dan jika memungkinkan, punya sedikit penghasilan dari jerih payahnya sendiri. Walaupun ini bukan berarti seorang perempuan akan meninggalkan tugas mulianya sebagai seorang kreator peradaban umat melalui pengasuhan terhadap anak-anaknya.

Pemahaman akan kebutuhan untuk berkarya, mengaktualisasikan diri, dan memiliki teman berdiskusi inilah yang seringkali terpendam, dalam pemahaman bahwa wanita harus diam di rumah. Bagaimana dengan wanita yang terbiasa aktif dengan sejumlah kegiatan di kantor atau organisasi kemanusiaan?

Banyak wanita-wanita yang memiliki latar belakang seperti ini akhirnya merasa “banyak tertinggal” saat mereka kemudian seutuhnya berada di rumah. Seperti pengakuan seorang ibu yang terpublikasikan di sebuah situs Islam, “Satu bulan yang lalu, saya memutuskan kembali berkerja meskipun dengan sistem kontrak. Banyak yang bilang terutama keluarga dan teman dekat, saya kelihatan lebih cerah, powerful, dan bahagia. Tetapi pada saat bekerja, pikiran saya jadi bercabang kembali, apakah tidak lebih baik sebagai seorang ibu harus lebih mementingkan keluarga dan anak? Namun, disatu pihak sepertinya saya kurang bahagia jika tinggal di rumah.”

Apa yang membuat mereka merasa kurang berbahagia saat berada di rumah? Apakah semata hanya karena pemahaman mereka tentang tugas mulia yang mereka emban masih rendah? Tentunya tidak. Banyak faktor yang harus diperhatikan ketika hendak menyimpulkan penyebab ketidakbahagiaan ini.

Peduli pada Keinginan

Kini mari sejenak mengingat, pernahkah ada pembicaraan antara suami dan istri tentang apa yang bisa dinikmati seorang istri, saat waktunya mutlak di rumah? Sekali lagi, dinikmati, bukan dikerjakan oleh istri. Si istri merasa bahagia dengan totalitasnya di rumah. Juga, pernahkah terbahas, hal-hal menarik apa yang bisa dilakukan seorang istri dalam mengisi waktunya bersama anak-anak? Atau yang ada, cuma pembicaraan tentang sederet daftar pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, agar rumah rapih dan penghuninya merasa betah tinggal di rumah?

Bila pembicaraan ini belum pernah ada atau pernah ada tapi tak pernah direalisasikan, tentu tak aneh bila seorang istri merasa menjadi “korban dari sebuah kewajiban”. Padahal, tentu akan jadi hal yang menyenangkan bila seorang suami dapat memahami perasaan istrinya. Sangat indah rasanya bila seorang suami dapat mengetahui apa yang membuat istrinya bahagia dan bersemangat setiap waktu. Dan, akan semakin berkesan di hati, bila seorang suami, selain menuntut seorang istri melakukan dengan baik tugas-tugasnya di rumah, juga memenuhi keinginan-keinginan istrinya. Baik keinginan untuk maju, berkembang, bersosialisasi, maupun keinginan untuk mengabdikan potensi yang dimiliki sang istri untuk kemajuan Islam.

Sebuah sikap yang bijak manakala seorang suami menawarkan atau bahkan memerintahkan pada istri-istrinya untuk belajar menguasai keterampilan tertentu yang disukai oleh istrinya, membiarkan istrinya berkarya, dan memiliki waktu yang luas untuk bisa menghadiri pertemuan-pertemuan yang bermanfaat; demi untuk bersama-sama berjuang di jalan Allah?

Tentu seorang istri akan berbunga-bunga hatinya bila suaminya dengan penuh kasih menawarkan padanya untuk mengikuti kursus merias pengantin yang sudah lama didambakannya misalnya. Juga, hati seorang istri akan sangat berbahagia bila suami sepulang bekerja, dengan senyum yang tulus menyodorkan formulir pendaftaran untuk mengikuti lomba penulisan novel di sebuah majalah wanita, atau dengan sepenuh kasih menawarkan diri menemani sang istri mengikuti workshop seputar masalah kecerdasan anak.

Mempersiapkan Generasi Unggul

Intinya, sudah sejauh mana suami dan istri telah saling memahami dan mempersiapkan apa yang akan dilakukan seorang istri ketika ia total “bertugas” di rumah. Sudahkah si istri memiliki keterampilan untuk mengisi hari-harinya? Sudahkah ia juga memiliki keterampilan ketika mengurus dan mengurus si buah hati? Tentu akan jadi sebuah kesia-siaan manakala si ibu berada di samping anak tetapi tidak memiliki ilmu yang cukup untuk mempersiapkan fisik dan mental seorang anak tumbuh dengan baik.

Sejatinya, pengetahuan- pengetahuan seperti inilah yang seharusnya dimiliki seorang istri sebelum dia benar-benar berkiprah di rumah. Sehingga profesi ibu rumah tangga tak lagi identik dengan ketidakproduktifan dan ketertinggalan. Bila seorang ibu rumah tangga kerjanya hanya menonton sinetron setelah selesai mengerjakan tugas rumah atau gaptek (gagap teknologi) saat harus mengoperasikan sebuah perangkat elektronik, maka sebaiknya jangan menyalahkannya semata. Ini semua tentu bukan terjadi dengan sendirinya.

Yang lebih menyedihkan bila kaum wanita sendiri yang memaklumkan diri dengan mengatakan, “ Yaaa…maklumlah ibu rumah tangga, sehari-hari hanya mengurus anak.”

Bila seorang istri, apalagi seorang ibu sampai berkata demikian, sesungguhnya tugas mulia sebagai seorang kreator peradaban umat sudah gagal. Sebab, sangat mustahil seorang kreator bisa menciptakan generasi tangguh yang unggul, bila ia pun bukan seorang kreator yang unggul. Jika seorang istri atau ibu sudah memaklumkan ini pada dirinya sendiri, maka mustahil peradaban Islam yang berjaya akan segera hadir di depan mata.

Generasi unggul di kemudian hari hanya bisa hadir dari sepasang orangtua yang visioner, yang memiliki visi jauh kedepan untuk menyongsong peradaban Islam yang gilang-gemilang. Tak akan mungkin generasi ini muncul dari seorang suami dan ayah yang hanya berpikir bahwa sang istri atau sang ibu, hanya harus berada di rumah. Tanpa membekali pasangannya agar mumpuni melaksanakan tugasnya dan menghasilkan karya terbaik seorang perempuan, yaitu anak-anak yang shaleh dan shalehah.

Sebab itu, inilah saatnya untuk sama-sama meningkatkan kualitas pribadi. Bila kita semua sepakat bahwa kewajiban utama para istri dan ibu adalah di rumah, mengasuh dan merawat keluarga, maka inilah saatnya bagi para suami untuk meng-up grade kemampuan istri dengan berbagai macam pengetahuan dan keterampilan, hingga sang istri pun akan bisa memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya di rumah. Hingga sabda Rasulullah bahwa “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” (Riwayat Muslim) benar-benar tercipta dari ketangguhan pribadi seorang wanita yang akan senantiasa menghiasi rumah dengan ilmu dan cinta.*/Kartika Trimarti

Read More..

14 TIP PERKAWINAN HARMONIS

1. Komunikasi Berkualitas
Komunikasi yang berkualitas tak dihitung dari seberapa sering kita berbicara dengan pasangan tetapi seberapa kuat komunikasi itu dapat memecahkan masalah yang terjadi. Contoh, ada persoalan dengan perilaku anak yang sering tantrum. Nah, suami dan istri perlu berkomunikasi dan bekerja sama untuk mencari solusinya. Intinya suami istri merasa bertanggung jawab terhadap persoalan yang terjadi.
2. Pacaran Setelah Menikah
Akan sangat menyenangkan bila kita berkunjung ke tempat-tempat yang pernah kita datangi saat berpacaran, baik itu restoran, bioskop, tempat wisata, dan sebagainya. Kunjungilah berdua saja sambil sejenak melupakan masalah di rumah.
3. Hubungan Jasmani dan Bulan Madu Kedua
Hubungan jasmani merupakan ekspresi cinta yang sangat dalam. Lakukanlah kesepakatan bagaimana melakukan hubungan yang terbaik lewat pembicaraan tentang hasrat dan fantasi seksual yang kita inginkan. Tapi ingat, kepuasan seks tak tergantung seberapa sering kita melakukannya tetapi bagaimana kita berusaha memberikan yang terbaik bagi pasangan. Intinya, kedua pasangan menikmati betul hubungan ini dengan baik, bukan semata-mata memenuhi kewajiban.
Sangat baik bila di waktu tertentu kita merancang hubungan jasmani ini dengan lebih spesial. Misal, melakukannya tidak di rumah melainkan di lokasi-lokasi spesial seperti hotel atau di tempat indah lain. Ambillah cuti 2-3 hari kemudian jadikan momen ini sebagai bulan madu kedua. Dengan suasana yang sangat spesial ini bisa menggelorakan kembali cinta pertama seperti saat belum ada anak-anak.
4. Saling Memaafkan
Cobaan terkadang membuat pasangan khilaf dan melakukan kesalahan. Diperlukan keluasan hati untuk bisa memaafkan kesalahan yang dilakukannya. Mungkin saja, karena tak kuat cobaan, dia berselingkuh. Bila kemudian dia mengakui kesalahan dan sungguh-sungguh berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, tak salah bila kita memberinya maaf.
Begitu pun dengan kesalahan-kesalahan kecil yang dia perbuat, harus dibukakan pintu maaf. Umpama, pasangan tak menepati janji untuk makan malam di rumah; jangan langsung kesal dan memarahinya tetapi lihat dahulu alasan kenapa dia mengingkarinya. Bila memang alasannya bisa diterima, segera berikan maaf. Penelitian menunjukkan, kemarahan dan kebencian merupakan pemicu hancurnya sebuah perkawinan. Dengan maaf, kebencian akan sirna dan membuat pasangan tidak saling menyakiti.
5. Saling Percaya dan Terbuka
Istri memberikan kepercayaan sepenuhnya terhadap aktivitas yang dilakukan suami bahwa dia tidak melakukan hal-hal negatif di kantor, misal. Begitu pun sebaliknya. Tentu harus dibarengi dengan kesungguhan masing-masing untuk tidak merusak keharmonisan lewat tindakan-tindakan negatif, seperti berselingkuh. Seandainya ada ganjalan atau pasangan punya pandangan berbeda, sebaiknya bicarakan secara terbuka. Istri maupun suami tak boleh egois untuk memaksakan kehendaknya, melainkan negosiasikan dan cari titik temunya agar aktivitas yang dilakukan berjalan nyaman dan tidak saling menyakiti.
Keterbukaan masing-masing terhadap aktivitasnya pun sangat penting terhadap tumbuhnya kepercayaan. Jangan menggunakan "topeng" untuk menutupi sesuatu, tetapi kembangkan kejujuran supaya setiap pasangan dapat mengenal watak, sifat, dan karakter masing-masing dengan baik.
6. Saling Menghargai
Bila kebetulan jabatan istri lebih tinggi dari suami tak harus membuatnya lebih tinggi hati sehingga menyepelekan suami. Begitu pula sebaliknya. Ketika keduanya beradu pendapat tentang suatu hal, maka masing-masing harus menghargai pendapat pasangannya. Penghargaan yang terkadang membuat pasangan begitu bahagia adalah kejutan-kejutan yang kita berikan. Saat ulang tahun misalnya, berikan hadiah-hadiah unik yang sangat disenangi pasangan. Tentu dia akan merasa sangat dihargai.
7. Memandang Positif Persoalan
Sangat wajar bila dalam rumah tangga muncul persoalan yang begitu pelik dan sulit dipecahkan bersama. Umpama, siapa yang harus mengurus anak di rumah dan siapa yang bekerja. Memang, umumnya suamilah yang bekerja dan istri menjaga anak. Namun bila gaji suami tak mencukupi atau istri punya karir yang bagus, tentu hal ini perlu dipecahkan. Untuk itu,setiap pasangan harus memandang positif persoalannya dengan mencari apa yang sebenarnya menjadi perhatian masing-masing.
Alasan istri bekerja karena ingin memenuhi kebutuhan hidup memang sesuatu yang perlu dilakukan. Demikian pula dengan karier. Nah, pengurusan anak bisa dicarikan solusi bersama, apakah mencarikan pengasuh, mengatur jadwal bersama anak, memanfaatkan waktu libur lebih berkualitas, dan sebagainya. Terkadang, pendapat masing-masing sangat bertolak belakang, untuk itu atur waktu dan carilah tempat yang nyaman guna membicarakan masalah ini. Kesabaran dan kebijaksanaan sangat diperlukan supaya pernikahan tetap harmonis.
8. Menepati Komitmen Pernikahan
Saat menikah, tentu kita punya komitmen dengan pasangan. Misal, menerima pasangan apa adanya, suami bekerja sedangkan istri mengurus anak atau sebaliknya, kedua-duanya bekerja, memberi kebebasan suami atau istri berkarier, dan sebagainya. Nah komitmen-komitmen ini harus terus dipegang. Bila suatu saat terjadi konflik yang diakibatkan oleh pelanggaran pasangan terhadap komitmen yang sudah dibuat, berusahalah kembali mengingat komitmen-komitmen yang pernah dibuat saat menikah.
9. Saling Bergantung
Tak hanya istri yang harus bergantung pada suami atau suami yang bergantung pada istri tetapi keduanya harus saling bergantung. Hal ini sebagai wujud kalau kita dan pasangan merupakan pribadi yang menyatu. Dengan begitu bila ada kekurangan di masing-masing pihak bisa saling mengisi. Contoh, gaji suami yang tak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga bisa tercukupi oleh gaji istri. Karena kesibukannya, istri tak bisa mengantar anak ke sekolah, tak salah bila suami yang menggantikan perannya. Begitu seterusnya. Saling bergantung ini pun membuat kita tidak saling berlomba untuk menunjukkan peran yang terkadang menjadi salah satu pemicu pertengkaran.
10. Berbagi dalam Suka dan Duka
Pernikahan ibarat mengarungi lautan dengan perahu, maka kita harus saling bahu-membahu supaya perahu tidak terbalik atau karam hingga dapat menyeberangi lautan. Bila dalam pernikahan ada suka maka setiap pasangan harus merasakannya. Begitu pun bila ada duka, pasangan harus mengempatinya. Kemampuan berbagi rasa ini menjadi salah satu hal penting untuk mewujudkan perkawinan yang langgeng. Jangan sampai, bila pasangan punya masalah, kita bersikap tidak mau tahu. Sebaiknya, suami dan istri harus menjadi teman untuk berbagi sekaligus memberikan jalan keluar dan pemberi semangat.
11. Tidak Menjadi Pengatur
Mengatur supaya hubungan perkawinan menjadi harmonis dan berjalan dengan baik tak masalah. Namun bila mengaturnya sudah mendikte tentu akan menuai masalah. Umpama, suami selalu diatur oleh istri berapa rupiah harus menjatahkannya beli baju, jam berapa suami harus pulang kerja dan tidak boleh telat, dengan siapa saja suami/istri boleh bergaul. Tentu pendiktean ini akan membuat pasangan kesal sehingga memunculkan bom waktu yang terpendam. Bila memang ingin mengatur cobalah dengan cara yang bijaksana, dengan kata-kata halus, sambil memberi masukan yang disertai berbagai pertimbangan sehingga tanpa kesan mendikte.
12. Menjaga Kemesraan
Kemesraan hubungan tak hanya saat pacaran. Ketika sudah menikah pun harus terus dijaga supaya keharmonisan tetap terwujud. Mencium tangan atau pipi suami/istri saat akan berangkat kerja bisa menjadi sangat penting untuk keharmonisan. Tak hanya itu, kita juga bisa mewujudkannya lewat kata-kata halus, memberikan hadiah saat ulang tahun, berkata mesra, memberikan perhatian tulus saat pasangan sakit, dan sebagainya. Dengan kemesraan ini akan terus menggelorakan perasaan cinta sehingga tidak padam.
13. Tampil Menawan
Bayangkan, apa respons suami bila sepulang kerja mendapati istrinya berpakaian lusuh dan bau? Atau sebaliknya. Meskipun dia sangat mencitai pasangannya namun responsnya tidak sebaik bila istri maupun suami berpenampilan menawan. Berpenampilan menawan tak harus dengan baju bagus dan berbedak tebal tetapi bisa dengan berpakaian sederhana, rambut tidak acak-acakan, mandi, sangat baik bila memakai parfum. Dengan penampilan seperti ini tentu pasangan akan lebih senang tinggal di rumah.
14. Mencukupi Nafkah
Semua hal di atas mustahil berjalan dengan baik bila tak ada yang mencukupi kebutuhan rumah tangga. Umumnya, di masyarakat kita yang bertugas memberi nafkah adalah suami, maka suami harus berusaha untuk mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya. Namun tak berarti istri terbebas dari tanggung jawab ini. Bila ternyata gaji suami kurang dan tak dapat memenuhi kebutuhan, tentu istri perlu membantu. Setidaknya, istri mengatur pengeluaran biaya rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Konsultan ahli:
Ita D. Azly, Psi.,
dari Iradat Konsultan, Jakarta

Read More..

Make Your Self Have a Meaning for Others

Ada 2 org ibu memasuki toko pakaian & ingin membeli baju.

Ternyata pemilik toko lagi bad mood sehingga tidak melayani dgn baik, malah terkesan buruk, tidak sopan dgn muka cemberut.

Ibu pertama jengkel menerima layanan yg buruk seperti itu...
Yg mengherankan, ibu kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan pd penjualnya.

Ibu pertama bertanya, “Mengapa Ibu bersikap demikian sopan pd penjual yg menyebalkan itu?”

Lantas dijawab “kenapa aku hrs mengizinkan dia menentukan caraku dlm bertindak?
Kitalah penentu atas hidup Kita, bukan org lain.”

"Tapi IA melayani Kita dgn buruk sekali" bantah Ibu pertama.

"Itu masalah dia. Kalau dia mau bad mood, tdk sopan, melayani dgn buruk DLL, toh tdk Ada kaitannya dngan Kita.
Kalau Kita sampai terpengaruh, berarti Kita membiarkan dia mengatur & menentukan hidup Kita, padahal Kita yg bertanggung jawab atas diri Kita," jelas Ibu kedua.

Tindakan Kita kerap dipengaruhi oleh tindakan org lain.
Kalau org memperlakukan Kita buruk, Kita akan membalasnya dngan hal yg buruk juga Dan sebaliknya.

Kalau org tdk sopan, Kita akan lebih tidak sopan lagi.
Kalau org lain pelit pd Kita, Kita yg semula pemurah tiba² jadinya demikian pelit, kalau hrs berurusan dgn org tsb. Ini berarti tindakan Kita dipengaruhi oleh tindakan org lain.

Kalau direnungkan, sebenarnya betapa tdk arifnya tindakan Kita,
Kenapa utk berbuat baik saja, hrs menunggu org lain baik dulu?

Jagalah suasana hati Kita sendiri, jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan cara Kita bertindak !

Kita yang bertanggung jawab atas hidup Kita, bukan orang lain...

Hidup Kita terlalu berharga..., oleh sebab itu :"Make Your Self Have a Meaning for Others !!"

Pemenang kehidupan adalah Orang yang tetap sejuk di tempat yg panas, yang tetap manis di tempat yg sangat pahit, yang tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar Dan yang tetap tenang di tengah badai yang paling hebat.




Read More..

Duhai Yang Membolak balikkan hati

Duhai yang Maha Membolak balikkan hati….
Sungguh diri tak kuasa menghadapi segala coba dan uji dariMu.
Jika tanpa Hidayah dan pertolonganMu.

Duhai yang Maha Membolak balikkan hati….
Aku begitu angkuh dengan pemberianMu..
Aku khilaf atas segala karuniaMu.
Syukurpun tak terucap dari hati dan mulutku.

Duhai yang Maha Membolak balikkan hati….
Aku memang pantas menghuni Neraka..
Aku memang pantas Engkau beri balak di dunia ini.
Karena Aku begitu banyak dosa padaMu dan dosa kepada sesama.

Namun…..
Duhai yang Maha Membolak balikkan hati….
Apakah aku sanggup menerima itu semua.
Jika ridloMu tak Kau curahkan padaku…

Ooooh Allah.
ooooh Rohmaan..
Engkau Maha Tahu dengan gerak gerik hatiku…

Yaa Haadial hajah…
Anugerahkan RahmatMu, KasihMu pada hamba yang berlumur dosa.

Yaa Muqollial quluub…
Stabbit qolbii ‘alaa diinika…
Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Nabi bersabda ''Famar Ridho Falahur Ridho, Wa man tsuhitho falahu tsuhth'' artrinya, ''Barang siapa yang Ridho, maka baginya adalah kehidupan yang penuh dengan keridhoan dan barangsiapa yang benci, maka baginya adalah kehidupan yang penuh dengan kebencian''.

Read More..