Senin, 02 Februari 2009

Puncak pendakian




Ketika melakukan perjalanan mendaki gunung yang tinggi, seorang guru kebenaran tertawa-tawa penuh kegembiraan, padahal jalan mendaki gunung tersebut begitu menguras tenaga dan sangat melelahkan. Sebaliknya ketika menempuh jalan menuruni gunung yang lebih ringan, ia malah menangis penuh kesedihan.


Murid-murid sang guru yang menyertai perjalanan tersebut sangat keheranan dan menyimpan pertanyaan menyaksikan tingkah laku guru mereka tersebut. Adalah hal yang sangat aneh menurut mereka, pada saat perjalanan mendaki yang sangat melelahkan sang guru tertawa gembira, namun menangis sedih pada saat perjalanan menurun yang lebih ringan.Ketika hal itu mereka tanyakan kepada sang guru, sang guru pun menjawab, ketika jalan mendaki yang berat dan melelahkan, aku berpikir tidak lama lagi kita akan menempuh jalan menurun yang lebih ringan, maka aku pun tertawa-tawa gembira.


Sebaliknya ketika kita dalam perjalanan menurun yang ringan, aku teringat tak lama lagi kita akan menemui jalan mendaki yang melelahkan, makanya aku menangis sedih membayangkan beratnya perjalanan mendaki yang akan kita hadapi.Itulah hidup. Banyak orang mengibaratkannya sebagai sebuah roda. Kadang kita berada di atas, sebaliknya kita pun suatu waktu akan berputar dan menggelinding ke bawah.


Banyak manusia yang begitu bergembira ketika berada di atas. Saking gembiranya, banyak yang lupa, bahwa "atas" hanya merupakan awal dari "bawah". Ketika sudah berada di puncak yang tertinggi, sesungguhnya satu-satunya pilihan yang dimiliki manusia hanyalah turun dan kembali ke bawah.Bawah, sesungguhnya bukanlah keadaan yang mengerikan. Semua kita berasal dari bawah, kemudian secara perlahan-lahan, beringsut dan bergerak naik tahap demi tahap. Ada yang hanya mampu naik seperempat kemudian turun kembali, ada yang mampu naik setengah kemudian turun kembali, dan ada yan beruntung sampai ke puncak, dan tak lama kemudian harus turun kembali.


Atas dan bawah, naik dan turun sesungguhnya irama kehidupan yang sangat alamiah. Semakin kita lentur dan fleksibel mengikutinya, maka irama kehidupan tersebut tak ubahnya buaian kehidupan yang bisa sangat mengasyikkan, jiwa dan batin kita semakin tumbuh dan berkembang bersama ayunannya.


Namun jika kita berkeras dan menolak, mungkin kita akan patah dan remuk digilasnya.Dalam sebuah syairnya, Confusius pernah berujar :


Manusia dilahirkan sebagai bayi yang lemah dan lembut
Kemudian tumbuh menjadi besar dan kuat
Kemudian menjadi dewasa, tua, mati dan kaku;
Fahamilah, sesungguhnya keras dan kaku adalah kawan kematian
Sementara lemah dan lembut adalah sahabat kehidupan.

Tidak ada komentar: