Rabu, 28 Desember 2011

Surat untuk ananda sholehan Anisa Fairish LBPA



Untuk Ananda sholehah Anisa Fairish LBPA.

Nisa bunda dan ayah sayang sama nisa. Alhamdulillah bunda senang nisa rajin berdo'a, sayang pada ayah, bunda, mba ima ke 2 , kaka tira dan adik indie.

Bunda senang semuanya saling menyayangi.

Pesan Bunda agar Nisa semakin rajin; sekolah, ngaji dan sholat.

Mandi sendiri, makan sendiri, menyiapkan buku sekolah, pergi sekolah sendiri naik sepeda. Bercanda dan bermain dengan semuanya.

Semoga nisa selalu senang, selalu riang gembira, mudah meminta maaf juga memberi maaf atas kesalahan dari: ayah dan bunda, kaka tira, mba ima 2 dan indie.

Bunda selalu mendoakan Anisa, bunda percaya Nisa sama pintarnya , sama rajinnya dengan kaka Athira.

InsyaALLah NISA BISA BERUBAH LEBIH BAIK LAGI DARI SAAT INI.

BUNDA CINTA DAN SAYANG NISA Read More..

Rabu, 14 Desember 2011

Dosa Istri yang Durhaka


Allah Ta’ala berfirman, “Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka, hendaklah kalian menasehati mereka atau pisahkan mereka dari tempat tidur, atau pukullah mereka. Dan jika mereka sudah kembali taat kepada kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti) mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa’: 34)

Al-Wahidi rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dengan ‘nusyuz’ pada ayat diatas adalah kedurhakaan terhadap suami, yakni merasa lebih tinggi dihadapan suaminya disaat terjadi perselisihan.”
Atha’ berkata, “Maksudnya adalah seorang istri yang mengenakan wewangian dihadapan (suami)nya, namun tidak mau ‘dikumpuli’, serta berubah sikap dan ketaatan yang dulu pernah dilakukannya.”

Maksud firman-Nya (yang artinya), “Hendaklah kalian menasehati mereka,” yaitu nasehatilah mereka dengan kitab Allah dan ingatkanlah akan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka (para istri).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat (yang artinya) “Atau pisahkan mereka dari tempat tidur,” yakni dengan membelakanginya dan tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan Sya’bi dan Mujahid menafsirkan dengan cara meninggalkan tempat tidurnya dan tidak menggaulinya.

Tafsir ayat (yang artinya) “Atau pukullah mereka,” yakni memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakannya.

Sedangkan maksud firman-Nya (yang artinya) “Jika mereka menaati kalian,” adalah janganlah kalian (suami) mencari-cari alasan untuk menyakiti mereka (istri).

Seorang istri memiliki kewajiban yang besar untuk patuh kepada suaminya. Kepatuhan ini tentu tidak berlaku jika seorang suami memerintahkan istrinya untuk bermaksiat kepada Allah, sebab tidak ada kepatuhan terhadap perintah manusia dalam berbuat maksiat kepada Allah.

Jika seorang istri yang patuh kepada suaminya akan memperoleh keutamaan pahala yang besar, maka sebaliknya, istri yang durhaka kepada suaminya akan mendapat ganjaran dosa dan laknat baik dari Allah maupun makhluk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak datang, (maka) malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Jika pada malam hari seorang istri meninggalkan tempat tidur suaminya dan menolak ajakannya, maka penduduk langit marah kepadanya hingga suaminya rela kepadanya.” (HR. Nasa’i)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga orang yang tidak diterima shalatnya, dan kebaikannya tidak diangkat kelangit: budak yang melarikan diri dari tuan-tuannya hingga ia kembali kepada mereka dan meletakkan tangannya pada mereka (menyerah dan taat); seorang istri yang dimarahi suaminya hingga ia ridha kepadanya; dan orang yang mabuk hingga siuman.” (HR. Thabrani dan Ibnu Khuzaimah)

Sudah seharusnya seorang istri berusaha untuk taat dan menunaikan kewajibannya terhadap suaminya. Begitu besarnya hak suami terhadap istrinya, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika aku diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, pastilah aku akan menyuruh seorang wanita bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Seorang bibi dari Hushain bin Muhsin bercerita perihal suaminya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Lihatlah kedudukanmu dihadapannya, ia adalah surga dan nerakamu.” (HR. Nasa’i)

Seorang istri wajib meminta ridha suaminya dan menjaga dirinya dari kemarahannya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang wanita meninggal dunia, sedangkan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim)

Oleh karena itu, seorang istri berhati-hati dari kedurhakaan terhadap suaminya, karena kedurhakaannya bisa mengantarkannya kedalam neraka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku melihat neraka, dan aku dapatkan ternyata sebagian besar penghuninya adalah wanita.”

Hal itu disebabkan karena kurangnya ketaatan istri kepada Allah, Rasul-Nya, dan suami mereka. Selain itu, para istri itu pun sering ber-tabarruj (memamerkan dandanannya kepada orang lain). Tabarruj artinya seorang istri keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian terbaiknya dan berdandan, serta bersolek hingga membuat orang-orang terfitnah oleh penampilannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, (melainkan) istrinya yang lain dari bidadari berkata, ‘Janganlah menyakitinya, semoga Allah membunuhmu.’” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

(Imam Adz-Dzahabi. 2008. Al-Kabair, Galaksi Dosa terjemah: Asfuri Bahri. Jakarta: Darul Falah)

Read More..

Kekuatan Cinta (1)


Jika seribu orang diminta menyampaikan pemahamannya tentang cinta berdasar pengalaman hidupnya, maka akan ada seribu macam ungkapan tentang cinta, karena cinta itu indah, obyektip, juga subyektip serta misterius, bergantung pengalaman masing-masing.

Ada yang menyimpulkan bahwa cinta itu motivator yang sangat kuat, yang lain mengatakan bahwa cinta itu keindahan yang susah diterangkan, yang lain mengatakan bahwa cinta itu adalah penderitaan yang yang sangat menyakitkan.

• Ada orang yang termotivasi oleh dorongan cintanya sehingga ia menjadi orang yang sangat berani dan tak kenal menyerah dalam menghadapi tantangan,sehingga baginya, demi untuk cinta….gunung akan ku daki, lautanpun akan ku seberangi.

• Ada orang yang dapat merasakan keindahan cintanya sehingga semua yang Nampak; air, gunung, awan, langit biru bahkan sampahpun terlihat indah.

• Sebaliknya ada orang yang karena kegagalan cintanya membuat semua yang ada itu terasa menjengkelkan. Senyuman orang dirasakan sebagai ledekan, kemesraan pasangan di rumah sebelah terasa menyakitkan, kicauan burung terasa sebagai sindiran, pokoknya tidak ada sesuatupun yang indah. Penderitaan cinta membuat semua yang ada menambah penderitaannya.

Jadi cinta itu apa ? Sesungguhnya cinta yang ada pada manusia itu berasal dari sang Pencipta, yaitu Tuhan. Allah memiliki sifat kasih sayang, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ar Rohman ar Rohim. Limpahan kasih sayang Tuhan itu menjelma dalam ciptaannya, maka proses reproduksi manusia selalu sarat dengan rasa cinta kasih, dari jatuh cinta, kemudian menjalin cinta, kontrak cinta (akad nikah), bermain cinta suami isteri, meneteskan gen di dalam garba kasih sayang (rahim ibu), dan seterusnya lahir bayi dengan penuh fitrah kasih sayang, tumbuh kembang hingga dewasa kesemuanya diselimuti rasa cinta dan kasih sayang.

Orang pun dalam berbagai bangsa dan budaya menyebut cinta dengan banyak ungkapan bergantung nuansanya.

Secara lebih spesifik, bahasa Arab menyebutnya dengan enam puluh istilah jenis cinta, seperti `isyqun (dalam bahasa Indonesia menjadi asyik), hilm, gharam (asmara), wajd, syauq, lahf dan sebagainya. Al Qur’an sebagai firrman Tuhan yang Maha pengasih dan Penyayang menyebut tujuh term cinta,yaitu; :

1. Mawaddah (Q/30:31), Mawaddah adalah jenis cinta yang mengebu-gebu, membara, bergelora dan “ngegemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Bagi orang yang dilanda cinta mawaddah, dunia adalah milik kita berdua, orang lain tidak ada.

2. Rahmah (Q/30;31), Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Nasehat perkawinan selalu ada doa dan harapan agar pasangan dikarunia cinta mawaddah dan rahmah.

3. Mail, jenis cinta yang ini memiliki karakteristik; untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.

4. Syaghaf, cinta jenis ini sifatnya sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir ketika tergila-gila kepada bujangnya, Yusuf.

5. Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat. Ketika orang yang dicintainya itu melakukan kesalahan, ia bukan saja tidak menghukum, malah membelanya. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2). Janganlah rasa kasihan menyebabkan keadilan tidak ditegakkan.

6.Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku menyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdo'a agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33).

7. Syauq (rindu), Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi.

8. Kulfah, cinta jenis kulfah adalah perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286).
posted by : Mubarok institute

Read More..

Kekuatan Cinta (2)


Menurut hadist Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.

Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Tuhan, maka ia lebih suka berbicara dengan Tuhan, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Tuhan dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Tuhan dari pada perintah yang lain.

Menurut Imam Gazali ada empat tingkat kualitas cinta; (1) cinta diri, semua hal yang berhubungan cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri, (2) cinta transaksional, yakni cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan bagi dirinya, seperti cintanya pedagang kepada pembeli, (3) cinta kepada orang baik meski tak memperoleh keuntungan langsung, seperti cinta orang kepada ulama dan pemimpin, ia sanggup berkorban demi orang baik yang dicintainya. (4) cinta kepada kebaikan, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan itu, bahkan kebaikan yang ada pada musuhnya. Cinta jenis terakhir inilah yang bisa mengantar manusia ke tingkat cinta kepada Tuhan. Bagi sufi Rabi`ah al Adawiah, cintanya kepada Tuhan bahkan sudah tidak memberi ruang di dalam hatinya untuk membenci, bahkan untuk membenci syaitan.

Karena cinta merupakan motiv atau faktor penggerak tingkah laku, maka kualitas cintanya akan mempengaruhi kualitas perilakunya. Cinta transaksional misalnya hanya mendorong pada perbuatan yang menurut hitungannya memberikan keuntungan. Jika keuntungan tidak terbayangkan maka perasaan cintanya berkurang dan mudah berpindah kepada orang lain yang menjanjikan keuntungan. Sedangkan cinta kepada tokoh idola dapat menggiring pada sifat cinta buta, yakni kesanggupan membela sampai titik darah penghabisan sang tokoh idola, meski belum tentu tahu substansi yang dibela. Ekpressi cinta ini dapat dilihat pada pengagum Bung Karno yang berikrar dengan kalimat pejah gesang nderek Bung Karno, yakni hidup dan mati ikut Bung Karno. Ikrar seperti ini sebenarnya hanya dibolehkan untuk Tuhan, karena Tuhan pasti benar, sedangkan manusia, meski ia pemimpin besar tetap saja subyektip. Orang Islam diajarkan untuk selalu ikrar inna salati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil `alamin, sesungguhnya salatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari.

Karena cinta bersifat indah, maka orang yang sedang dimabuk cinta hatinya selalu berbunga-bunga, wajahnya berseri-seri, mempersepsi alam (misalnya bulan, gemerincik air, langit biru , bentangan alam dan sebagainya) sebagai dukungan atas cintanya, oleh karena itu ia mengerjakan pekerjaan dengan riang gembira. Sebaliknya orang yang sedang menderita karena cinta, misalnya cintanya ditolak, maka hatinya menjadi gelap, dan semua pemandangan seperti mengejeknya, dan pekerjaan sebagai sesuatu yang menyebalkan. Hanya orang yang kuat kepribadiannya yang justeru dapat melupakan kegetiran cintanya dengan memindahkan konsentrasianya pada pekerjaan..
posted by : Mubarok institute


Read More..

Menghayati Kehidupan Keluarga


Ada Pengalaman menarik ketika saya mengajar di program kajian Paramadina, yaitu banyaknya orang berkonsultasi. Pada umumnya mereka berkonsultasi masalah-masalah kehidupan berkeluarga. Semakin lama, saya semakin tertarik untuk mendalami masalah-masalah kehidupan keluarga. Ketertarikan kepada masalah keluarga sesungguhnya sudah berlangsung lama dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sewaktu dalam usia 19-20 tahunan saya belajar di pesantren, ada santri-santri yang sudah berumah tangga. Yang mengherankan, kalau mereka punya persoalan rumah tangga, mereka mengadu kepada saya, padahal saya masih bujangan kala itu.

Nah ketika berinteraksi di lingkungan khusus yaitu di kalangan elite, saya memperoleh begitu banyak masukan tentang problem-problem rumah tangga. Bersamaan dengan itu, saya pun sering menghayati kehidupan rumah tangga sendiri yang telah lama dijalani karena sayapun sesunguhnya juga memiliki persoalan dalam kehidupan keluarga saya. Di satu sisi ia menghayati problem kehidupan dirinya, sedangkan di sisi lain ia selalu mendengar keluhan dari klien. Maka perhatiannya kepada masalah keluarga menjadi semakin besar dan penuh penghayatan. Akhirnya tanpa disengaja sayapun menjadi seorang konselor keluarga.

Pada saat nama saya sudah dikenal, BP4 (Badan Penyelenggara Penasihat Perkawinan dan Perceraian) pun selalu mengundang. Karena kedekatan saya dengan mahasiswa dan karena sering menjadi tempat berbagi, maka sayapun akrab sekali dengan problem-problem mahasiswa dan sering membantu mereka. Tidak jarang saya bertindak seperti orang tua; misalnya bila ada yang jatuh hati kepada seseorang sedangkan orang tuanya jauh, maka saya sering diminta untuk melamar. Ada pula mahasiswi-mahasiswi yang punya pikiran iseng, ingin menjadi isteri saya.

Bukan hanya di kampus, di pengajian-pengajian pun saya akrab dengan peserta-peserta pengajian. Banyak di antara mereka yang sering mengeluarkan uneg-unegnya. Di antara pengajian yang suka mengundangnya adalah Namira, sebuah kelompok pengajian di Pondok Indah. saya juga sering mengisi program-program kuliah shubuh di di TVRI yang biasanya seputar kehidupan keluarga. Dari penghayatan itu saya tergerak untuk menulis buku Psikologi Keluarga. Buku itu pun dipakai sebagai bahan kuliah Psikologi Keluarga di Pasca Sarjana UI dan saya pula yang mengajarnya. Puncak dari penekunan masalah keluarga tercapai ketika saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Juri ”Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional” yang dimulai sewaktu Said Agil Al-Munawar menjabat Menteri Agama. Keterlibatannya dalam kegiatan ini telah berlangsung selama tujuh tahun tahun berturut-turut.

Banyak sekali pengalaman yang menarik ketika sebagai Ketua Tim Juri bersama anggota-anggota tim yang lain mewawancarai kandidat Keluarga Teladan. Peserta Pemilihan Keluarga Teladan ini adalah mereka yang sudah mempunyai pengalaman berkeluarga selama 40 tahun lebih.

Di antara pengalaman dalam mewawancarai mereka adalah kepada pasangan yang kemudian menjadi juara pertama, saya bertanya: ”Pak, selama ini Bapak memimpin rumah tangga atau Bapak menurut saja sama Ibu.?” Jawabannya, ”Ah, saya mengalahlah sama ibu.’” Ketika mewawancari istrinya, saya juga bertanya. ”Bu, selama ini Ibu diatur Bapak atau Ibu yang mengatur Bapak?” Jawabnya, ”Aduh! Saya ini kan istrinya, saya ini perempuan. Saya mengalahlah sama Bapak.” Nah ketika wawancara digabung, mereka ditanya, ”Bagaimana ini, katanya Bapak mengalah sama Ibu, tapi kata Ibu, ia mengalah sama Bapak. Sebenarnya Bapak yang mengalah sama Ibu atau Ibu yang mengalah sama Bapak?” Ternyata jawabannya demikian, ”barangkali dari dua sikap mengalah inilah yang akhirnya melahirkan kemenangan bersama.”

Pasangan yang menjadi pemenang pertama ini berasal dari Jawa Barat. Suaminya guru SMP, sedangkan istrinya guru SD. Anak mereka delapan orang, semuanya sarjana, yang menjadi doktor ada tiga orang.
Ada lagi pasangan pedagang kecil dari Cilacap yang kemudian terpilih menjadi keluarga teladan III.. Suaminya hanya tamatan Sekolah Persamaan SMA (KPA) sedangkan istrinya tamatan SMP. Anaknya tiga orang menjadi doktor dan menantunya juga doktor dari luar negeri. Sang ibu berdagang kue dan rumahnya sederhana. Sebagai juri, saya berkata kepadanya, ”Bapak hebat, bisa menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi semua.” Si ayah menanggapi begini, ’Oh! sesungguhnya saya hanya menyekolahkan mereka sampai SMA. Setelah tamat semuanya mendapatkan beasiswa. Malah sesudah mendapat beasiswa, setiap tahun mereka mengirimkan uang kepada kami.”

Penasaran atas jawaban mereka, saya bertanya lagi, ”Tetapi mungkin Bapak punya rahasia, bagaimana dengan kehidupan yang sederhana, anda bisa melahirkan generasi yang bermutu?” Ia menjawab, ”Ya, ada kuncinya. Seingat saya, anak saya belum pernah saya kasih makan kecuali yang saya jamin halalnya. Itulah sebabnya istri saya sampai saat ini masih berjulan kue, karena jualan kue itu halal, tidak ada sangkut pautnya dengan korupsi.”

Saya tanya lagi,”Anak-anak Bapak hebat-hebat semua. Kok tinggal di tempat seperti ini?” Ia menjawab, ’Sesungguhnya saya punya rumah besar, besar sekali. Rumah ini dibangun oleh anak-anak saya, namun saya malu untuk tinggal di rumah sebagus itu. Rumah itu hanya dipakai kalau anak-anak pulang atau ketika ada kepentingan sosial bagi masyarakat di sini.’” Dari keluarga teladan ke III ini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh nafkah halal itu ternyata luar biasa, satu hal yang sudah jarang diperhatikan orang.

Dari pengalaman tujuh tahun menjadi tim juri saya mendapati kenyataan bahwa kesuksesan keluarga itu tidak selalu sejalan dengan tingkat pendidikan! Tidak sedikit di antara mereka yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi dan mendapatkan prestasi yang membanggakan, padahal pendidikan mereka biasa-biasa saja, banyak pula yang tidak sarjana. Sementara tak jarang, keluarga yang sangat terpelajar ternyata gagal dalam mendidik anak-anaknya..

Saya juga banyak tertarik masalah keluarga ketika bersentuhan dengan problem-problem murid saat menjadi guru BP. Dari melihat problem murid kemudian meningkat melihat problem keluarga , dan akhirnya ia mendalami masalah-masalah kehidupan keluarga.
Meski pekerjaannya membantu problem orang, tidak selalu seorang konselor lancar-lancar saja dalam tugasnya dan tidak mengalami problem dalam dirinya berkaitan dengan tugasnya itu.

Suatu ketika saya pernah mendapatkan pengalaman yang berat, yakni jatuh cinta kepada klien. Awalnya sang klien sangat bergantung kepada saya. Lalu muncul godaan, sering kali saya merasa rindu, sampai kemudian bertanya-tanya kepada diri sendiri, sesungguhnya apa yang ia cari; apakah benar-benar ingin menolongnya ataukah rindu ingin bertemu dengannya? Beruntunglah saya selamat dari godaan dan tidak terjadi apa-apa. Dalam waktu lama, sekitar lima tahun, saya pernah surat-menyurat dengan klien meskipun isinya hanya nasihat, bukan ungkapan cinta. Celakanya, nasihat Mubarok betul-betul dijadikan sebagai pegangan suci bagi klien, sehingga saya dianggap sebagai malaikat penolong. Sebenarnya saya hanya pernah bertemu sekali dengannya. Setelah itu tidak lagi bertemu, kemudian dilanjutkan saling berkirim surat tetapi justru dengan surat-menyurat itulah ia tergoda. Sampai si klien berada di luar negeri pun tepatnya di Jerman ia terus saling berkirim surat . Akhirnya suatu saat ketika ia memberitahu sedang berada di tanah air karena didorong rasa kerinduan, saya mengejarnya ke Bandung. Lucunya, setelah bertemu, saya sama sekali tidak tertarik . Perasaannya biasa-biasa saja. Rupanya rasa kangen itu hanya tipuan komunikasi. Ketika perjumpaan pertama, perempuan itu masih mempunyai suami, sehingga Mubarok tak berpikir apa-apa terhadapnya. Kemudian ia bercerai dengan suaminya. Selama masa krisis sebagai seorang janda, ia selalu berkonsultasi dengan Mubarok lewat surat. Begitulah seterusnya. Setelah pertemuan rasa cinta dan rindu itu hilang, saya kembali merasa murni menjadi konselor. Pada akhirnya sang klien menikah dengan seorang Eropa Muslim dan sering berpindah-pindah di luar negeri bersama suaminya. Ketika berada di Pakistan, ia bertemu dengan mahasiswa saya. Menariknya, pada saat mahasiswa itu pulang, mantan kliennya menitipkan uang untuknya sebanyak 500 Dolar U$.

Saya sadar betul bahwa konselor rentan terhadap godaan meskipun sang klien tidak bermaksud menggoda. Interaksi konselor dengan klien dalam waktu yang lama seringkali memunculkan perasaan-perasaan tertentu yang terkadang tak disadari. Untuk menghindari itu tentu harus ada kiatnya. Saya punya cara untuk itu. Maka saya berusaha agar setiap konsultasi berlangsung harus ada orang lain yang hadir di ruangan itu meskipun tidak terlibat dalam konsultasi. Saya tak mau hanya berdua saja dengan klien di ruangan itu, karena kata hadis Nabi, jika dua orang laki perempuan hanya berdua di tempat sepi maka syaitan akan menjadi orang ketiganya...

Oleh ; Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA
Read More..

Sedalam Samudra Hati Mbak Ana


TERUNTUK rasa syukur kita yang tipis dan kian terkikis, saya kisahkan sebuah penggal kehidupan sederhana yang dalam. Sedalam kita memantik hikmah di belakangnya, sedalam itu pula saya harap keberkahan mengalir pada sungai kebahagiaan mereka.

Sebut saja Mbak Ana, perempuan paruh baya berputri 1 kelas 6 SD ini sudah 3 bulan menjadi ART paruh waktu di rumah saya. Mbak Ana, begitu saya menyebut nama samarannya, adalah tetangga teman sekantor suami saya. Sehingga kami merasa sedikit ada garansi tentang ART baru kami. Sebab cemas akibat ulah ART sebelumnya yang tertangkap tangan mencuri sejumlah uang belumlah sempurna hilang. Inilah kisahnya yang saya tulisa dalam bentuk cerita.

****

Gesit. Itu kesan pertama saya terhadap Mbak Ana. Beliau membereskan pekerjaan yang tidak saya limpahkan padanya. Seperti halnya mencuci, saya hanya membutuhkan tenaga Mbak Ana untuk mencuci tangan popok bayi dan pakaian kantor suami. Selebihnya bisa saya giling dengan mesin. Namun dihari pertama bekerja, betapa saya takjub mendapati pakaian di dalam mesin sudah dibereskan semua dengan tangannya. “Nggak apa, Mbak,” katanya ikhlas.

Lantai rumah pun menjadi kesat sebab tehnik mengepel yang sungguh saya tak sanggup melakukannya. Di bulan Ramadhan, saya mengingatkan Mbak Ana untuk tidak memforsir tenaga. Namun ia melakukan semua pekerjaan seperti biasa.
Hari libur yang saya beri di awal Ramadhan pun tak diambilnya. Bahkan pada 2 syawal (versi pemerintah) Mbak Ana sudah masuk. Dan terpaksa pulang sebab saya sungguh tak ingin merobek jalinan silaturahimnya dengan sanak saudara.

“Saya tak punya saudara, Mbak,” ceritanya satu kesempatan setelah syawal. Sembari menyetrika, saya ajak ngobrol Mbak Ana yang perantauan asal Jawa Tengah.

“Suami punya saudara kandung 1 tapi sepertinya sudah tak ingin bersaudara dengan kami yang miskin ini,” lanjutnya menceritakan sang ipar yang punya jabatan pada institusi Negara di Batam ini. Pikir saya, sombong betul pejabat ini.

“Mbak dan suami punya salah apa dengan mereka?”

“Nggak tahu, Mbak. Dulunya kan rumah kami depan-belakang. Ya itupun nggak kayak saudara. Saya operasi melahirkan pun mereka nggak menjenguk. Saya tanya suami katanya dia gak pernah ada masalah dengan saudaranya itu. Tau lah, Mbak.Makanya kami mending menjauh saja. Eh, kami pergi, malahan rumah kami dicaplok. Gak ijin pula, cuma nyuruh orang aja bilang ke kami,” jawabnya dengan nada sungguh biasa. Barangkali, perasaan Mbak Ana ini sudah melompong.

Lalu saya yang outsider ini tak habis pikir, bagaimana mungkin si saudara yang mampu, mencaplok rumah hasil kerja Mbak Ana dan suaminya. Sehingga sudah 12 tahun ini Mbak Ana menjadi kontraktor. Ngontrak sana-ngontrak sini. Jika diperbolehkan, rasanya ingin sekali saya meninjunya!

“Lha, dulu suami Mbak katanya kerja di Hotel, kenapa keluar?” sengaja saya putar topik agar tak terlalu membuat Mbak Ana mengenang yang suram.

“Nah, dulu kan suami saya punya guru, orang pinter gitu Mbak. Orang pinter itu bilang, kamu kerja di Hotel kan tahu Hotel itu tempat apa. Banyak maksiat di sana. Sekarang kamu punya istri sudah punya anak juga, apa kamu mau ngasi makan anak istrimu dari tempat yang kayak gitu. Gitu katanya, Mbak….” Saya manggut-manggut mendengar cerita Mbak Ana.

“Jadi suami saya mikir-mikir. Memang betul katanya. Dia tahu kalau hotel tempatnya kerja sering didatangi Pak K (seorang pengusaha kelas kakap di Batam) berikut gadis-gadis yang kinyis-kinyis. Itu kan maksiat. Tapi suami saya gak berani bilang ke saya sampai 3 hari dia gak bisa tidur. Waktu saya tanya ada masalah apa baru dia bilang, “Bu, kalau aku keluar dari hotel trus gak dapet kerjaan, cuma ngojek aja, apa Ibuk masih mau sama aku”? tanyanya begitu.

So weet banget, yah? Saya pikir dialog ini cuma ada di sinetron-sinetron, lho…

“Wah sayang banget padahal, ya Mbak…” pancing saya untuk mengetahui respon Mbak Ana tentang alih profesi menjadi ojekr ini.

“Gak papa lah, Mbak. Walau ngojek yang penting rejeki halal.” Jawabnya mantap. Menohok saya yang masih suka galau soal rejeki. Padahal kalau belum rejekinya, mungkin Allah kira-kira mau bilang ke saya…periksa lagi jalan rejekimu, kalau lurus tak mungkin nyasar!

Berbilang 12 tahun, saat ini, suami Mbak Ana masih tetap ngojek. Pun mereka masih kontraktor. Tetapi kebahagiaan mereka nyata. Anak semata wayang sungguh manis berbakti pada orangtua. Sama sekali jauh dari kesan anak jaman sekarang yang banyak tuntutan. Bahkan ia selalu mendapat peringkat terbaik pada tiap-tiap pembagian rapor di sekolah.

Sebagai hamba yang diberi lebih banyak kenikmatan oleh Allah, saya nyaris miris. Kondisi serba kontradiktif dengan keluarga Mbak Ana yang sejatinya mampu menghalau banyak galau di hati saya.

Hari ini, saya coba selami dalamnya samudra hati dari keluarga Mbak Ana yang tak kunjung membawa saya hingga ke dasarnya; keikhlasan…*/Dwi, Batam, November 2011

Read More..

Jumat, 11 November 2011

Akhwat (Dilarang) Pulang Malam


“Akhwat itu tidak baik pulang malam!”
Teguran tersebut tidak dapat begitu saja diterima oleh akhwat. Tuntutan kuliah, tugas, dan amanah seperti BEM dan organisasi lainnya yang belum terkondisikan, seringkali memposisikan mereka untuk pulang larut malam. Bahkan, saat ini, fenomena seorang akhwat yang pulang larut malam seolah menjadi hal yang biasa.

Tapi, percayalah bahwa sebenarnya dalam lubuk hati yang terdalam, para akhwat pun merasa tidak nyaman jika harus pulang malam. Ada beban mental menghadapi tanggapan dan pandangan masyarakat. Ada kecemasan akan pelanggaran kode etik tak tertulis mengenai bagaimana sikap dan perbuatan seorang “wanita baik-baik” di mata sosial yang menganut penuh prinsip budaya ketimuran.

Memang, kesemuanya itu hanyalah peraturan dan pandangan yang dibuat oleh manusia, bukan peraturan Al-Quran maupun hadis yang tak dapat dirubah. Akan tetapi kita ini hidup bermasyarakat, hidup dengan orang lain, tentunya harus menghormati peraturan yang ada. Dengan demikian kita dapat mencerminkan bahwa Islam juga sangat mempertimbangkan keutamaan muamalah. Dan dengan menghargai peraturan yang ada di masyarakat (tentu peraturan yang logis dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam), kita telah melakukan sebagian dari dakwah.

Mari membangun persepsi terlabih dahulu mengenai parameter kata malam. Drs. Moh. Rifa’i dalam bukunya yang berjudul “Risalah Tuntunan Sholat Lengkap”, khususnya bab salat sunnah tahajud, memaparkan pembagian malam menjadi tiga, yaitu:
Sepertiga malam pertama : pukul 19.00-22.00
Sepertiga malam kedua : pukul 22.00-01.00
Sepertiga malam ketiga : pukul 01.00-menjelang subuh

Dengan demikian, waktu malam terhitung sejak sekitar pukul 19.00. Akan tetapi sebagian aktivis terkadang membuat kebijakan tentang malam yang dimaksud, misalnya malam dimulai sejak maghrib, atau malam adalah lebih dari pukul 21.00. Pembuatan kebijakan tersebut sebenarnya sah-sah saja dengan syarat sang pembuat kebijakan memang mengetahui seluk beluk lingkup penerapannya sehingga menimbulkan kebaikan bagi sasaran. Yang jelas, waktu-waktu di atas pukul 21.00 adalah waktu yang sudah teramat malam bagi muslimah atau wanita untuk berada di luar rumah.

Kembali pada soal akhwat yang pulang larut malam. Sebenarnya, apakah penyebab akhwat dipandang tidak baik dan bahkan dilarang untuk pulang malam? Adakah dalil yang menyatakan bahwa akhwat dilarang pulang malam?

Akhwat dilarang untuk pulang malam pada dasarnya adalah untuk menghindari dua fitnah. Yang pertama adalah fitnah keamanan. Memang sudah diartikan secara klasik bahwa pada malam hari yang gelap, kriminalitas dan kejahatan akan banyak dilakukan, di mana pun tempatnya dan apa pun bentuknya. Selain itu, dalam QS. Al-Falaq ayat 1-3 ( Katakanlah: “aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari kejahatan malam apabila gelap gulita….”) disebutkan “kejahatan malam apabila gelap gulita”. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran pun telah mengisyaratkan bahwa pada malam hari ada banyak kejahatan dilakukan. Hal tersebut tentu akan menjadi ancaman berbahaya, khususnya bagi para akhwat yang tak dapat dipungkiri bahwa mayoritas tidak mampu melakukan pelindungan diri dari kejahatan.

Sedangkan fitnah yang kedua adalah fitnah khalwat dengan lain jenis. Pada kondisi tertentu, ketika akhwat tidak berani pulang sendirian pada malam hari, maka akan ada ikhwan yang merasa kasihan dan kemudian mengantarkannya. Semoga niatnya tercatat sebagai kebaikan. Namun, pulang larut malam bersama lawan jenis bukanlah sebuah tindakan yang bijak karena justru akan menimbulkan berbagai macam asumsi masyarakat, misalnya tentang “apa yang dilakukan oleh sepasang ikhwan dan akhwat sampai malam begini?”. Juga asumsi-asumsi lain yang nantinya berbuah fitnah.

Para ulama pun telah memberi isyarat bahwa malam hari itu banyak bertebaran fitnah sehingga lebih baik banyak berzikir di rumah dari pada berkeliaran di luar rumah.
Fitnah-fitnah yang ada (terutama yang sebenarnya bisa dicegah tapi timbul karena perbuatan sendiri) akan berpotensi menurunkan izzah (wibawa, harga diri, kemuliaan) seorang akhwat. Padahal, seorang akhwat dengan segala atribut kemuslimahannya harusnya memiliki dan mampu menjaga izzah serta menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak pulang larut malam adalah salah satu bentuk dakwah dengan keteladanan.

Memang, tidak ada dalil yang melarang akhwat pulang malam, tapi justru lebih dari itu, dalam sebuah hadis disebutkan, "Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk bermusafir kecuali bersamanya mahromnya" (HR:Bukhori).

Pergi bersama mahromkah para akhwat yang pulang malam itu? Kebanyakan tidak. Dalam hadis tersebut bahkan wanita dilarang keluar rumah sama sekali. Namun, dalam menyikapi hadis ini, para ulama shalafussolih telah memberikan batasan-batasan yang sangat tegas bahwa muslimah diharamkan bepergian tanpa mahromnya kecuali dalam tiga hal, yaitu: untuk menyelamatkan akidahnya, menuntut ilmu, dan untuk hal-hal yang bersifat durori. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan dalam menanggapi larangan pulang malam.

Fenomena akhwat pulang malam memang seperti sulit dihindari jika alasannya tugas dan amanah. Apalagi bagi akhwat yang tinggal di kos-kosan atau kontrakan yang notabene tidak mendapat pengawasan intensif orang tua. Mereka, termasuk diri ini, akan lebih bebas untuk pulang larut malam.

Saya teringat nasehat seorang saudara yang mengingatkan ancaman fitnah di malam hari, namun saya meyakinkan bahwa saya akan baik-baik saja. Lantas, beliau mengondisikan saya untuk membayangkan jika orang tua kita mengetahui kita, putri kesayangannya, pulang larut malam. Akan ridakah mereka? Tentu tidak. Mereka akan sangat khawatir jika putrinya belum pulang ketika malam beranjak larut. Kita hanya akan menyiksa mereka dalam kecemasan. Lalu, jika orang tua pun tidak rida, bagaimana dengan Allah? Sementara “rida Allah bergantung pada rida orang tua, dan kemurkaan Allah bergantung pada kemurkaan orang tua” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim). Jika Allah tidak rida, berarti sia-sia saja apa yang telah dan akan kita lakukan.

Jika kita yakin bahwa dua fitnah yang dipaparkan di atas akan jauh dari kita, sehingga merasa saah saja pulang malam, jangan lupakan juga bahwa kita memiliki dan harus menjaga izzah sebagai muslimah. Selain itu, pertimbangkan pula keridaan orang tua atas apa yang kita lakukan, sebab rida Allah bergantung pada rida mereka.

Sebaiknya, kita lebih selektif lagi dalam mengikuti kegiatan yang selesai di malam hari. Apalagi jika kita pergi tanpa mahrom. Semoga pemikiran dengan bahasa sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita. Menjadi renungan bagi diri sendiri dan kita semua, akhwat yang terjaga izzahnya. Wallahoa’lam bishowab./Oleh Endang Sri Wahyuni


Read More..

Terbelenggu Pikiran Buruk


Terbelenggu dunia memang melelahkan. Tetapi, terbelenggu pikiran buruk sendiri juga melelahkan sekaligus menyesakkan. Sungguh menyiksa. Seperti hidup memakan kotoran sendiri. Pantaslah tubuh dan hati tak sehat. Begitu lemah dan tak banyak bergerak.

Ketika berfikir buruk tentang diri sendiri, maka hanya pesimis dan rendah diri yang terjadi. Merasa tak ada kesempatan dan jalan di setiap masalah. Putus asa.

"Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang kafir". (Q.S. Yusuf : 87).

Aku tersentak dengan ayat Allah ini. Membuatku berusaha membuang segala putus asa dari kemurahan dan kebaikan Allah.

Sesaat Kemudian aku berfikir buruk tentang yang lain. Tentang orang lain. Bahwa mereka bersikap sengaja menyakitiku. Merendahkan aku. Atau berfikir mereka membanciku. Marah padaku dengan sifatku.

Duhai, banyak lah pikiran buruk itu bermunculan. Seperti rumput di musim hujan. Hampir tak terkendali tumbuhnya. Membuat pikiranku yang sempit ini sesak oleh pemikiran yang buruk dan berlebihan.

Lalu pikiran buruk terhadap rencana dan kehendak Allah padaku. Merasa begitu berat dengan keadaan yang terjadi padaku. Merasa rencana Allah bukan terbaik untukku. Padahal aku tahu, Allah sesuai prasangaka hambaNya.

Aku pun mencoba berprasangka baik kepada Allah. bahwa semua masalah ini membawa hikmah. Namun, pikiran yang terlanjur kotor ini tak mampu menolak pikiran buruk yang baru.

Bahwa aku tak disayang Allah, sehingga aku mendapat masalah ini dan itu. Aku tak pantas disayang karena terlalu hina dan lemah iman. Aku kembali berputus asa dari rahmat Allah...

Bahkan, aku melakukan perbuatan setan dengan pikiranku. Yaitu membanding-bandingkan. Antara diriku dan orang lain. Membandingkan tubuh, rezeki dan kemampuan diri dengan orang lain.

Kenapa mereka lebih baik dariku. Mengapa aku yang kekurangan. Dan pertanyaan tak terima yang lain. Sungguh sangat menyiksa diri, hati dan pikiran. Tak ada manfaat. Malah mendatangkan rendah diri dan kufur nikmat.

Belum lagi ketika aku bersama orang yang lebih rendah ibadahnya. Aku akan berfikir aku lebih baik dari dia. Aku sholat, sedang dia tidak. Aku puasa dan dia sama sekali tidak. Aku tak berghibah sedang dia berghibah. Aku bisa membaca Al-Quran dan dia tidak. Dan masih banyak lagi perbandingan yang membuat aku merasa lebih dari orang lain.

Pikiran buruk itu telah menjadi pohon rimbun di pikiranku. Sulit tercabut. Kalau pun aku sadar, aku hanya menebang ranting-rantingnya saja. Tak sanggup menebang batang yang besar. Apalagi hingga ke akarnya. Jika pun sanggup. Aku sendiri pula yang menebar bibit pikiran buruk pada tanah fikirku. Sehingga tersemai kembali pikiran negatif ku tentang diriku, orang lain dan Allah.

Tanpa kusadari, pikiran buruk itu berbuah penyakit hati. Ya, berbagai macam penyakit hati. Keluh kesah, putus asa, kufur nikmat, iri, sombong, dan ujub. Aku bahkan tak merasakannya. Tak tahu telah parah penyakit hatiku. Setiap hari, aku memetik buah itu. Menikmatinya. Seakan tak berdosa dengan kelakuan diri.

Padahal sungguh Allah maha halus terhadap apa yang kita pikirkan dan kita rasakan, "Sesungguhnya Allah Maha halus Maha teliti". (Luqman : 16).

Meskipun hanya selintas saja. Hanya sekejap saja. Ketika aku berfikir aku lebih menjaga hijab dari saudara wanitaku, ujubku kambuh. Ketika aku berfikir wanita itu sungguh sempurna tubuhnya, tanpa sadar aku telah iri.

Ketika aku merasa lebih baik begini tanpa merubah keadaan diri yang buruk, aku sedang putus asa. Juga pikiran-pikiran lain yang membuahkan sombong, egois dan keluh kesah.

Maka aku harus bunuh pohon besar pikiran buruk yang ada di diriku. Sebelum pikiran buruk menghancurkan aku tanpa ampun. Membuatku menyesal kelak di hari perhitungan. Aku harus memotong ranting-rantingnya setiap hari, sampai ia gersang. Mematahkan setiap ada yang mulai tumbuh kembali.

Membuang ranting-ranting pikiran buruk sejauh-jauhnya. Kemudian meracuni pohon pikiran buruk dengan keyakinan kepada Allah, ikhlas, syukur, ilmu dan ibadah. Tentulah dibarengi dengan doa. Memohon pertolongan Allah. Percaya bahwa pertolongan Allah akan datang kepadaku.

"Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat". (Al-Baqarah : 214).

Semoga waktu ini, Ramadhan nan mulia, aku bisa menebang habis pohon pikiran buruk. Mencabut hingga ke akar-akarnya.

Kemudian secepatnya menanam pikiran positif dan semangat ibadah serta beramal di tanah pikiran. Agar aku terbebas dari pikiran buruk. Tak lagi terbelenggu pikiran buruk ku./Oleh Najmi Haniva



Read More..

Dia yang Melindungiku dan Menyakiti


ilustrasi
“Dia telah pergi, dia… sosok yang kucintai, dia yang melindungiku dan menamparku…menyakiti hatiku, orang pertama yang menamparku.”

Sebuah tulisan di Twitter membuat hati ikut terenyuh membacanya.

Rani, sahabat lama kami dari SMP 213, bertekad membina rumah tangga dari usia muda, dan harapannya terkabul dari kami berenam, Rani yang kemudian menikah dahulu, dengan lelaki bukan pujaannya, karena, “Pujaanku diambil kucing tetangga sebelah,” maksudnya pujaannya sudah menikah dengan tetangga sebelah rumahnya, demikian tulisnya di SMS, dahulu waktu Rani mau menikah kira-kira 10 tahun lalu, hanya ada handphone belum ada Facebook, BlackBerry, atau Twitter seperti sekarang.Sehingga tidak ada komentar ramai-ramai seperti yang biasa dilakukan baik melalui Facebook, BlackBerry atau Twitter.

Setelah 10 tahun kemudian, kami dikejutkan lagi dengan berita kematian Suami Rani, akibat sakit Kanker Pancreas, dan kemudian di status social site-nya yang terakhir membuat hati ini miris, dan segera kami minta, Rani mencabut statusnya, “Gak enak tho, Ran, sebab Suamimu kan baru seminggu meninggal, jangan sampai orang berfikir yang bukan-bukan mengenai rumah tanggamu, bila ada apa-apa yang tidak nyaman, baiknya disimpan sendiri saja, jangan sampai yang lain tahu soal itu atau meduga yang tidak tidak,” Aisyah salah satu kawan kami yang sekarang sudah menjadi Ustadzah dan anak anaknya pun rata-rata sudah selesai menghafal al-Qur'an, menyitir hadits-hadits tentang Suami-istri serta ayat Qur’an di dalam surat al-Baqarah ayat 187, sudah dijelaskan bahwa, “…mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka…” Selain itu Aisyah memberi pesan singkat, “barangsiapa menutup aib seseorang maka Allah akan menutup aibnya…”

Tidak ada yang salah maupun benar, mungkin hanya khilaf, namun dalam berumah tangga, sebaiknya hari-hari kita isi dengan tekad saling menyenangkan bagi pasangan kita, masing-masing. Istri memberi yang terbaik bagi Suaminya, pun Suami memberikan yang terbaik bagi Istrinya, sehingga ketika salah satu diantara pasangan Suami-istri itu ada yang sudah tiada, maka yang tersisa adalah kenangan yang terindah saja.

Memang betul, Suami Rani adalah sosok Suami yang melindungi Istri, dan mungkin ketika sedang khilaf atau tidak tahan menahan emosi atas sebuah pertengkaran, tak sadar tangannya melayang menampar wajah Istrinya, dan memang bagi sebagian kecil Suami, menampar adalah solusi tercepat untuk menyelesaikan masalah, apalagi perempuan biasanya mulutnya tidak berhenti nyerocos, ngomel dan ngedumel yang seringkali hal tersebut bikin puyeng Suami.

Apalagi bila sang Suami baru pulang dari kerja, yang mana jalanan juga macet ditilang polisi pula, di Kantor juga kerjaan dianggap tidak beres-beres oleh bosnya, gajian juga masih lama dan banyak masalah berat lainnya, bila disambut dengan omelan sang Istri, maka kekesalan dan kepenatan serta sumpeknya beban membuat sang Suami, khilaf dan menampar Istrinya.

Dalam hal ini, baik Istri maupun Suami, sebaiknya sama-sama menahan diri, ciptakanlah hari-hari dengan akhlak dan kenangan yang indah, sehingga yang diingat Suami kita terhadap kita hanya yang manis-manis saja, pun yang diingat oleh Istri kita pada sang Suami adalah yang manis-manis juga, jangan sampai ada lagi bunyi status di Twitter yang tidak nyaman buat siapapun yang membacanya. Kenangan yang manis dan buruk bercampur menjadi satu, menorehkan luka ditengah cinta seorang Istri yang Suaminya telah tiada.

Read More..

IBU SANG PEMBOHONG


Ibuku Seorang Pembohong ? Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian.
Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan.

PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.
Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga.. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.
Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.
Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.
Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepatmenolaknya dan berkata : “ Minumlah nak, ibu tak haus !! ”

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.
Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.
Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.
Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerima berita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya.

Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus.. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetaptersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.”

Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak2nya. Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah.” Tapi tidak saya lakukan, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu.

Sayangi ….. Hormati ….. Abdikan Diri ….. Kepada IBU kita Salagi ADA !!!

Wallohu A’lam
(Cerita seorang IKhwan katanya : ( Simaklah Semoga Bermanfa’at ))

Read More..

Senin, 24 Oktober 2011

Haruskah Bercerai


“Rani ingin bercerai bu,” isak tangis Rani dibalik gagang telepon yang membuat ibunya tercengang. Tak tahu mau berkata apa, perceraian adalah hal yang biasa di dengar dimana-mana, menimpa siapa saja, dari artis sampai ustadz sekalipun namun tidak terbayang hancurnya hati seorang ibu bila perceraian itu menimpa anak gadisnya. Dari sejak mahasiswi, Rani terkenal sebagai aktivis kampus yang memiliki banyak kawan. Mula-mula ibu khawatir pada Rani karena dia begitu banyak kegiatan di luar sehingga khawatir lupa untuk menikah. Bahkan ibu juga pernah mendengar ketika Rani berbicara dengan gaya yang tegas lalu menutup telepon setelah memberi salam dengan intonasi suara yang tidak lembut sama sekali.

“Mana ada lelaki yang mau menikah dengan anakku bila semuanya digalakkan seperti begitu,” ucap sang ibu. Rani hanya tersenyum saja ketika ibu menasehatinya karena bagi Rani, ibu tidak mengerti konsep hijab dalam Islam yang mengajarkan wanita untuk bicara seperlunya saja pada lelaki dan tidak melembut-lembutkan suara.

Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab [33] : 32)

Dengan berjalannya waktu, akhirnya ibu mengerti semua pemikiran dan permintaan Rani karena banyak hal-hal positif juga yang ibu lihat dalam akhlak Rani termasuk pernikahan Rani yang tidak mengenal pasangannya. Rani tidak mengenal pacaran sebagaimana anak-anak lain kawan ibunya Rani. Semua berlalu dengan sangat mulus, sampai akhirnya ibu mendengar isak tangisan Rani dari balik telepon yang mengatakan bahwa Rani ingin bercerai.

Masalah dalam rumah tangga memang selalu ada, maka tidak heran bila kita sering mendengar perkataan orang kepada calon mempelai, ”selamat menempuh hidup baru”. Ya, pernyataan itu memang tepat karena bila kita menikah, semuanya serba baru. Kehidupan yang betul-betul totally berubah, berubah 180 derajat, yang tadinya sendiri setelah menikah menjadi berdua, tadinya tidak punya tanggung jawab menjadi jadi punya tanggung jawab lalu punya anak yang terasa ajaib, “kok bisa ada makhluk kecil disampingku, datang dari mana yaa, kan awalnya cuma kita berdua dengan suami/istri,” begitu pikiran pasangan muda dalam penikahan bila baru dikaruniai anak. Hal-hal yang menakjubkan selama menjalani kehidupan pernikahan itulah yang dinamakan hidup baru, yang juga orang-orang katakan sebagai memasuki gerbang pernikahan. Masalah dalam pernikahan akan ditemukan pada setiap manusia, maka tak heran bila dikatakan menikah adalah setengah dien. Mengapa demikian, karena tanggungjawabnya banyak, masalahnya banyak dan pahalanya juga banyak serta hmm.. mungkin dosanya juga banyak.

“Bila menghadapi permasalahan dan mengerjakan tanggungjawab dengan cara yang tidak syar’i, apa alasanmu ingin bercerai Rani...” ibu bertanya keras kepada Rani. “Rani sudah tidak kuat lagi bu, bang Ihsan terlalu mendominasi dan terlalu memaksakan kehendak karena dia adalah pemimpin rumah tangga...”jawab Rani.

Satu hal terpenting dari sebuah rumah tangga adalah dahulukan syari’ah dalam mengambil keputusan, pentingkan komunikasi dua arah, tidak mudah suudzhon dan selalu mendahulukan sangka baik. Siapkan 1000 alasan untuk suudzhon dan yang terpenting usahakan segala cara untuk menyelamatkan pernikahan. Perbanyak ibadah dan berdo,a serta bersabar, banyak mengalah dan banyak lagi.. namun jangan jadikan bercerai sebagai solusi bagi semua masalah, ibarat orang hidup susah dan merasa hidup ini sangat menyusahkan maka berfikir bahwa bunuh diri adalah solusi untuk mengakhiri hidup ini. Ingatlah dunia tidak selalu indah dan langit tak selalu cerah sehingga masalah pasti ada. Ingatlah anak, ketika ingin bercerai dan renungkanlah setelah bercerai apakah hidup akan lebih baik atau tidak, bukan hanya untuk kita tapi juga untuk anak-anak. Murid saya disekolah pernah berkata, “hal yang paling menyedihkan dalam hidupku adalah bila ayah ibu jadi bercerai, rasanya kayak gempa bumi.”

Biasanya anak-anak yang orangtuanya bercerai akan menjadi pemurung, minder dan bermasalah di sekolah. Menurut pendapat kawan saya yang baru saja bercerai mengatakan bahwa perceraian sangat menyakitkan, hal yang paling menyakitkan dalam hidup. Percayalah bahwa bercerai bukanlah solusi yang terbaik dalam mengatasi masalah dalam pernikahan, maka tak heran bila dibenci Allah kan..? mungkin karena dampaknya itu lho.. seperti yang disabdakan Rasulullah dalam haditsnya, “Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak (cerai).” (HR. Muslim) dan “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”(HR. Muslim)
Read More..

Menikah Tapi Tidak Bisa Masak Nasi


Pernikahan bagi seorang muslimah adalah suatu hal yang sakral dan begitu bahagia rasanya bila ada seorang lelaki yang meminang. “Akhirnya ada juga yang memilih saya,” begitulah biasanya gurauan dan nasihat yang diselingi canda membuat sang muslimah mukanya merah dan merasa malu. Ya malu-malu senang, atau biasa dikatakan tersipu-sipu malu.

Hal yang harus dipersiapkan oleh para muslimah menjelang nikah biasanya adalah persiapan lahir. Kalau yang satu ini kebanyakan para sanak saudara dan orang tua yang menyuruh para muslimah untuk memikirkan hal ini, yaitu dengan menyuruh luluran, bersih-bersih diri bahkan tidak jarang dicampur adukkan dengan kepercayaan sang orang tua misalnya siraman dan lain-lain. Ada beberapa muslimah yang mengikuti tapi ada juga yang tidak mengikuti. Namun akhirnya terjadilah kesepakatan acara pernikahan yang menggetarkan dengan memikirkan soal undangan, siapa yang akan diundang, tempat diadakan acara dan juga sedikit rebut- ribut kecil yang ujung-ujungnya adalah soal biaya. Dan semua itu membuat sang muslimah selama beberapa bulan atau beberapa minggu menjelang pernikahan sibuk dengan hal-hal yang merupakan bagian daripada rutinitas pernikahan yang hanya sehari saja.

Terkadang saya heran juga melihat persiapan yang dilakukan berbulan-bulan bahkan disertai dengan rapat ini itu yang sebetulnya hanya untuk menyiapkan sebuah acara yang dilakukan hanya beberapa jam saja dengan biaya yang lumayan banyak yaitu sampai jutaan lah kalau mau dihitung. Semua pihak juga mempersiapkan hari tersebut agar rapi dan tidak kacau, sementara itu biasanya kawan pengajian, sang murobiyah atau ustadzah membekali sang muslimah dengan petuah-petuah bagaimana manjadi istri yang baik, solehah, taat, enak bila dipandangnya serta akhlak akal lainnya dalam berumah tangga. Namun ada satu hal yang nyaris dilupakan para orang tua dan para murobiyah dalam melepas sang muslimah untuk menikah, hal yang cukup lumayan penting dan mengganggu bila tidak dapat dilaksanakan yaitu memasak nasi.

Berapa banyak cerita mengenai muslimah yang baru menikah namun ketika masak nasi menggunakan rice cooker, lupa ditekan tombol cook-nya sehingga ketika waktu makan malam tiba, nasi masih menjadi beras yang hangat dan sang suami bila sabar maka akan diam saja, namun bila tidak sabar akan membuat suasana di malam hari menjadi tidak nyaman dan tak khayal pertengkaran kecil kerap terjadi. Selain itu pemborosan juga namanya bila sang muslimah yang tidak pandai memasak karena harus menghabiskan uangnya untuk mencoba-coba berbagai masakan, namun akhirnya mungkin lauk ada yang terbuang atau terdiamkan diatas meja dalam waktu lama karena keasinan yang kalau dibuang saying tapi kalau dimakan, masya Allah asinnya bikin semangat makan hilang sehari semalam. Akibatnya, karena panik seringkali sang muslimah yang sudah menjadi istri harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli makanan dari warung sebelah rumah.

Sudah selayaknya begitu seorang muslimah akil baligh, pelajaran pertama selain akhlak dan adab-adab sebagai muslimah dari segi berpakaian, ibadah, mandi janabaha dan lain-lain, maka diwajibkan untuk turun ke dapur, bukan hanya membantu, kalau perlu tugas memasak nasi, membuat lauk dan lain-lain diserahkan pada anak gadis kita, bukan diserahkan kepada pembantu sementara anak kita tinggal duduk makan dengan tenangnya (kalau bahasa jakartanya duduk nge’jogrok..) dalam proses belajar masak.

Bila anak kita berbuat kesalahan biarlah, yang penting ada pembelajaran sebelum anak gadis kita masuk pada jenjang pernikahan. Saya melihat budaya ini kurang di masyarakat Indonesia, apalagi di perkotaan, yang ada adalah makanan fast food ala Mc Donald dan budaya membeli makanan untuk lauk siang dan malam hari.

Read More..

Filosofi Air Dalam Teko


Apakah mungkin terjadi, jika di dalam sebuah teko yang berisi air teh, tiba-tiba pada saat dituang berubah menjadi kopi ?, atau apakah mungkin jika air yang ada dalam teko kotor, maka pada saat dituang air itu berubah menjadi bersih ?, pasti akan tetap kotor dan tidak mungkin menjadi bersih, artinya apa yang ada di dalam teko akan pasti sama dengan yang keluar di mulut teko.

Demikian juga halnya dengan interaksi sehari-hari (yang menggunakan Ucapan dan Sikap dalam menyampaikan keinginan). Kita biasa mengatakan “Jaga Mulut Kamu”, yang sebenarnya itu adalah salah kaprah. Mulut tidak bisa dijaga karena ia berada di bawah perintah, makanya ia boleh berkata : ”Jangan salahkan saya dong, saya hanya menjalankan perintah”. Sama halnya dengan mulut teko, juga tidak mau disalahkan karena mengeluarkan air kotor, “Habis, air yang di dalam tekonya kotor”, katanya.

Tentu kita tidak bisa menyalahkan bahwa orang yang sedang marah mengeluarkan kata-kata kasar, membentak, mata melotot dan menggabrak meja, bahkan mungkin semua nama binatang di Ragunan meluncur dari mulutnya, karena itulah refleksi dari Suasana Hati yang sedang dirasakannya.

Suasana Hati, wilayah inilah yang harus dikontrol, karena di sinilah pusat pengendalian terhadap ucapan dan sikap kita dalam berkomunikasi. Kita tentu memilih kata-kata yang menyenangkan pada saat suasana hati kita dalam keadaan senang, tapi kita tidak mungkin berucap dan bersikap menyenangkan pada saat kita kesal.

Seorang pemain sinetron tidak bisa bersikap dan mengucapkan kata-kata yang mencerminkan kesedihan, karena pada saat itu suasana hatinya masih riang gembira. Selama suasana hatinya masih diliputi kegembiraan maka take dan cut akan terus meluncur dari mulut sang sutradara.

Suasana Hati. Hati yang mana ?, Hati yang penyakitnya Hevatitis A, Hevatitis B ?, yang letaknya antara rongga dada dan rongga perut ?. Tentu tidak. Itu namanya Lever. Lalu hati yang mana ?, dan di mana letaknya di tubuh kita manusia, yaitu hati yang penyakitnya ria, iri, dengki, sombong ?.

Bahasa ”Suasana Hati” adalah bahasa awam, dan karena yang dimaksudkan dengan ”Hati” ini adalah salah satu bagian dari otak kita , maka mungkin istilah yang lebih tepat adalah ”Warna Pikiran”.

Salah satu syarat keberhasilan komunikasi adalah Warna Pikiran dari pihak yang melakukan komunikasi tersebut dalam keadaan jernih dan tidak diliputi oleh pikiran yang negatif seperti kesal, angkuh, prasangka buruk, melecehkan, dan sebagainya, seperti jangan memanggil dan menasihati anak buah pada saat suasana hati Anda marah dan kesal terhadapnya, karena tujuan Anda untk menyadarkannya tidak akan tercapai. Yang tercapai adalah bahwa Anda menjadi plong karena sudah memuntahkan kemarahan Anda kepadanya.

Jadi, pesan yang ingin disampaikan oleh Filosofi Air Dalam Teko ini adalah bersihkan air di dalam teko, baru dituang, atau jernihkan suasana hati, baru ngomong.

Read More..

Tabu, Menyebarluaskan Aib Suami


Percakapan yang memusingkan, membuat hati Nisa geram. ”Rasanya kesal, ingin pergi dan melarikan diri dan tidak mau berjumpa lagi dengan mereka semua, kawan-kawan yang hanya suka arisan dengan dalih pengajian, membosankan, bukan menambah iman malah menambah persoalan,” geram Nisa dalam hati.

Suara-suara yang berisik yang semakin sering terdengar membuat Nisa geram, pusing dan kesal. Bahkan terkadang percakapan itu dilanjutkan dengan dering telepon, sms yang masuk dan ting tang ting tung bunyi blackberry, membahas kelanjutan percakapan yang sama dan hal ini semakin membuat Nisa semakin menderita.

“Sudah Nisa, cari saja suami yang lain, apakah kamu tidak melihat banyak lelaki yang sekarang ingin punya istri baik-baik, solehah, pakai kerudung kayak kamu..” sergah Rani dengan sangat semangat. “Kamu tuh masih sangat cantik Nisaa.., dengan suami yang kerjanya gak jelas, sakit-sakitan pula, apalagi sih yang kamu cari, suami bukannya menguntungkan malah menyusahkan istri,” bu Aisyah yang berwajah manis walau sudah mulai berumur menegaskan kembali pernyataan kawan-kawan Nisa dipengajian Al Hidayah tersebut.

Serentak masalah Nisa menjadi masalah orang banyak. Dengan wajah dan suara penuh simpati dari sepuluh anggota pengajian yang rutin Nisa datangi setiap minggu, bergantian memberikan saran dan banyak sekali masukan yang intinya satu, tinggalkan sang suami dan cari yang lain. Memangnya mudah apa mencari suami baru, kok rasanya seperti mengganti sepatu baru.

Lagipula Nisa ingat, dahulu Nisa lah yang dicari, bukan sang suami yang dipilih, namun suaminya yang sekarang entah mengapa menjadi sering sakit-sakitan, murung dan emosi tinggi terutama ketika gejala PHK menghujam tempat sang suami bekerja. Hal ini membuat Nisa menjadi semakin tidak bahagia dengan rumah tangga yang baru diarungi selama setahun setengah.

Awalnya Nisa hanya bercerita kepada salah seorang kawannya saja. Hal ini dikarenakan sang ustadz dipengajian berganti-ganti maka tidak mungkin menceritakan masalah pribadi kepada sang ustadz.

Namun karena kawannya bingung musti menjawab apa kepada Nisa dan Nisa pun sering menangis di hadapan kawannya, maka sang kawan membawa masalah Nisa kepada kawan-kawannya yang lain, yang sayangnya solusi berdatangan dengan penuh perhatian, yang semuanya berlandaskan pada emosi dan pemikiran saja .

Bahkan dalam menjawab masalah Nisa seorang ustadz pun tidak memakai Al Quran dan Al Hadist dan semuanya merasa solusinya yang paling benar.

Pertanyaannya sekarang haruskah Nisa menceritakan permasalahannya kepada kawan yang tidak paham agama dan haruskah kondisi suaminya diceritakan pada orang lain. Bukankah suami baik atau buruk merupakan pakaian kita, yang harus kita jaga aibnya dan kita tutupi.

“..isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah [2] : 187)

Betapa akan tidak nyamannya Nisa bila kondisi keluarganya nantiya sudah membaik dimana suaminya sudah mendapatkan pekerjaan lain yang mungkin lebih baik serta kondisi keimanan sang suami sudah membaik, sehingga lebih mampu mengendalikan diri dan emosi serta suasana keluarganya sudah nyaman namun semua kawan-kawannya masih memandang suaminya Nisa dengan negatif. Dan yang lebih parah lagi bila Nisa mengikuti saran kawan-kawannya yang menganjurkan Nisa untuk mencari suami yang lain yang lebih baik.

“..boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

Sebaiknya memang semua permasalahan antara suami dan istri itu diketahui dan diselesaikan berdua saja atau dengan mencari orang terdekat saja yang bisa dipercaya dari kalangan keluarga dan memiliki pemahaman dan pondasi agama yang kuat.

Bukankah masalah memang ada untuk diselesaikan dalam rangka menguji keimanan, bukan untuk sekedar disebarluaskan. Wallahu'alam.


Read More..

Minggu, 04 September 2011

Lebih Cerdas dengan Berkata Jujur


Menurut seorang psikolog orang yang sering berkata tidak jujur (bohong), lambat laun menjadi kebiasaan yang sulit dihambat. Bila tidak berbohong terasa ada keberatan dalam jiwanya. Maka terbiasalah ia berdusta. Seolah jika tidak berdusta mulutnya terasa gatal.

Pertama kali seseorang berbuat dusta atau berbohong, biasanya ia akan merasa menyesal. Akan tetapi, ketika perbuatan bohong atau dusta itu sering dilakukan beberapa kali, ia akan merasa biasa saja, bahkan mulai pudar rasa penyesalannya.

Kebiasaaan ini akan merugikan pribadi dan agamanya. Misalnya, dalam pergaulan ia bisa dijauhi orang lain. Bagi agama, perbuatan itu berimplikasi pada kadar keimanan.

Seorang ulama bernama Syeikh Abu Sa’id al-Qarsyi pernah mengatakan, “Orang jujur itu adalah orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Sehinga ia tidak pernah malu mengakui kelemahan dirinya.”

Sikap jujur akan mengisi energi ke dalam pikiran intelektualitas sekaligus spiritualtias. Sifat ini mampu memberi energi positif untuk pengembangan keilmuan dan intelektualitas. Lebih-lebih, bagi seorang ilmuan. Jujur, menjadi faktor kemajuan intelektualitasnya.

Peneliti sejati bukanlah yang selalu menjiplak karya orang atau mengutip secara tidak jujur. Kebiasaan buruk ini justru menurunkan derajat intelektualitasnya. Menjadi peneliti yang baik, mesti mengakui kelemahannya, jika tidak, dia tidak menghasilkan karya yang baik.

Pengakuan akan kelemahan inilah yang kadang kala tidak ringan dilakukan. Sebagaiman anasihat Syeikh al-Qarsyi, “seharusnya seorang ilmuan tidak malu jika kelemahannya diketahui.” Sebab, dengan terbukanya kelemahan, berarti akan ada kesempatan untuk memperbaikinya.

Sebaliknya jika dia tidak jujur mengakui kelemahan, namun tetap kukuh menutupi ke-jahilan-nya, maka pintu untuk mengembangkan diri menjadi pintar tertutup. Tak ada kesempatan untuk tingkatkan derajat keilmuannya karena merasa sudah intelek. Jadilah ia seperti katak dalam tempurung. Ketidak jujuran menghasilkan keangkuhan. Keangkuhan berakibat satisnya tingkat keilmuannya.

Jujur dan kematian

Implikasi sikap jujur memiliki dua dimensi. Pertama, Meningkatkan kinerja seseorang dalam pekerjaannya. Kejujuran itu merupakan inti emotional quotient (kecerdasan emosional). Para peneliti menemukan bahwa kecerdasan emosional adalah faktor paling utama menentukan kesuksesan bekerja. Ini adalah sikap cerdas pada dimensi dunia.

Kedua, cerdas pada dimensi akhirat. Di sini, sikap jujur adalah buah dari keimanan yang sempurna. Karena sempurna imannya, maka ia tidak menyia-nyiakan perilakunya. Ia memprioritaskan perilakuknya kepada yang hal yang bermanfaat. Ia sadar bahwa berbohong tidak menguntungkan dalam berkawan, lebih-lebih akan merugikan nasib di akhirat.

Makanya, ia tidak sembarangan menjalani setiap detik nafas hidupnya, tidak main-main dengan gerak-gerik perilaku dan ucapannya.

Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi). Inilah arti kecerdasan yang sesungguhnya.

Hal ini menguatkan pendapat Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilaniy, bahwa akhlak terpuji selalu tergantung dengan konsep keimannannya, sebagaimana ditegaskan oleh Imama al-Wasithy, bahwa jujur itu sebenarnya adalah kebersihan tauhid.

Sehingga dengan mengikuti nasihat Imam Abu Sa’id al-Qarsyi di atas, maka seorang muslim yang shiddiq (jujur) selalu ingat kematian, setiap aktifitasnya selalu dipertimbangkan, apakah membawa manfaat untuk bekal setelah nyawa ini dicabut atau tidak. Inilah yang disebut manusia cerdas.

Ketidakmampuan dan kelemahan diri juga mesti diakui. Pengakuan ini akan menjadi pemacu semangat berbenah diri.

Ketidakjujuran dalam mengakui kelemahan atau kekurangan sering terjadi pada banyak orang. Maka sering pula sebagian orang melontarkan kata-kata sombongnya, “Saya sudah baik, tabungan pahala lumayan, tak perlu dinasihati dan tak butuh nasehat Anda.”

Sebaliknya, seorang yang jujur mengakui kelemahan yang ada dalam dirinya, selalu merasa masih banyak dosa, memerlukan bimbingan, banyak belajar dan akan terus berpacu menyempurnakan segala kelemahannya.

Inilah yang bernama riyadlah. Berat memang. Kecuali bagi orang yang jujur dan tawadlu’. Sedangkan orang yang angkuh, berat untuk mengakui kelemahan diri, dan berusaha menutupinya agar disebut manusia sempurna. Orang jenis ini ini menipu dirinya. Ia Ingkar pada hati nurani.

Makanya, untuk mencapai kesempurnaan, hati perlu mengakui akan kesalahan. Pengakuan ini bisa kita mulai dengan mengkalkulasi dosa setiap harinya. Sediakan waktu sejenak untuk bermuhasabah. Berapa kali kita lakukan dosa hari ini? Kemudian bandingkan, seberapa banyak syukur kita pada Allah SAW?

Jika kita masih tetap saja kukuh membohongi diri, maka perlu dicatat, mulut tak akan bisa berbohong di alam kubur kelak. Segalanya akan berlaku sebagaimana adanya kondisi seseorang. Lebiha baik jujur di dunia dengan menerima hinaan manusia, daripada kita tutupi diri untuk mengesankan sebagai orang ‘hebat’ di dunia, akan tetapi di akhirat disiksa.

Walau sepintar apa kita di dunia, bila kita inkar pada-Nya, mulut kita yang dulu pintar tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi pertanyaan malaikat Munkar Nakir, kecuali sebagaimana adanya. Kita tak mungkin bermanipulasi pada waktu itu. Semua jasad kita akan menjadi saksi kebohongan-kebohongan. Jadi berbohong menjadi energy negatif yang akan menghancurkan kehidupan kita. Na’udzu billah mindzaalik./Kholili Hasib



Read More..

nice story


Pada suatu ketika dikisahkan ada seorang tua renta yang tinggal dengan anak dan menantunya yang sudah berputra 6 tahun. Sang kakek sudah mengalami kesulitan saat berjalan ataupun menggerakkan tangannya karena stroke yang pernah diderita sebelumnya.

Seperti biasa saat makan malam seluruh keluarga berkumpul dimeja makan diruang tengah. seperti biasa pula karena ketidak seimbangan tangannya ada saja alat makan yang terjatuh, sup atau air tumpah dan membasahi taplak meja makan. melihat itu semua gusarlah pasangan suami istri tsb. "... kalau begini terus, hilang selera makanku.!!! " begitu keluh sang menantu. akhirnya dengan kesepakatan bersama suami istri tsb membuat meja kecil lalu diletakkan disudut ruangan, tidak lupa pula mereka membeli peralatan makan dari plastik untuk sang kakek.

Sejak itu anak dan menantunya dapat menikmati makan malam tanpa merasa terganggu ulah sang kakek. Sementara dari sudut ruangan kerap terdengar isak tangis sedih sang kakek yang makan sendirian dimeja kecilnya. Tak jarang bubur yang berhasil masuk kemulutnya sudah bercampur tetesan air matanya. tak jarang sang kakek tidak makan karena sup atau buburnya tumpah ke lantai. hal itu makin membuat anak dan menantunya geram dan mengomel pada sang kakek. melihat itu semua sang cucu yang baru berusia 6 tahun itu hanya diam dan tak satu patah kata pun terlontar dari bibirnya yang mungil.

Suatu malam sebelum tidur, seperti biasa pasangan suami istri tsb masuk ke kamar anaknya untuk mengucapkan selamat tidur. tapi malam itu putranya masik terlihat asyik dengan mainan kayunya. sang ayah bertanya : " Apa yang sedang kau buat nak...sampai kau belum tidur juga ? " dengan penuh semangat sang putra menjawab : " aku sedang membuat meja makan untuk ayah dan ibu kalau aku sudah besar nanti ....dan akan kuletakkan disudut ruangan tempat kakek makan " bagus kan yah...?. mendengar jawaban putranya suami istri tsb merasa amat sedih dan terpukul. malam itu mereka sadar harus ada yang dibenahi.

Sejak malam itu suasana diruang makan kembali seperti semula, semua berkumpul dalam satu meja makan, bedanya tak ada lagi terdengar suara omelan meski selalu ada saja alat makan yang jatuh atau sup tumpah mengotori taplak meja. tidak ada lagi meja kecil disudut ruangan dengan suara isak tangis sang kakek yang membuat sang cucu berhenti makan.
Temans...... Anak2 adalah persepsi kita, mata mereka akan selalu mengamati, Telinga mereka akan selalu menyimak dan fikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.

Mereka adalah peniru ulung. Orang tua yang bijak akan selalu menyadari setiap "Bangunan Jiwa" yang disusun adalah pondasi yang kekal untuk masa depan anak-anak. Untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain sama artinya dengan tabungan masa
depan. __._,_.___


Karena Aku Seorang Wanita
Seorang anak laki-laki kecil bertanya kepada ibunya “Mengapa engkau menangis?”
“Karena aku seorang wanita”, kata sang ibu kepadanya.
“Aku tidak mengerti”, kata anak itu.
Ibunya hanya memeluknya dan berkata, “Dan kau tak akan pernah mengerti”
Kemudian anak laki-laki itu bertanya kepada ayahnya, “Mengapa ibu suka menangis tanpa alasan?”

“Semua wanita menangis tanpa alasan”, hanya itu yang dapat dikatakan oleh ayahnya.
Anak laki-laki kecil itu pun lalu tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa, tetap ingin tahu mengapa wanita menangis.
Akhirnya ia menghubungi Tuhan, dan ia bertanya, “Tuhan, mengapa wanita begitu mudah menangis?”
Tuhan berkata:
“Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia; namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan ”
“Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya ”
“Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang-orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh ”
“Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya ”
“Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalannya dan melengkapi dengan tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya ”
“Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada disisi suaminya tanpa ragu ”
“Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan. Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan kapan pun ia butuhkan.”
“Kau tahu:
Kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, sosok yang ia tampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya.”
“Kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.”


Seorang pria dan kekasihnya menikah dan acara pernikahannya sungguh megah. Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan dan menikmati hari yang berbahagia tersebut. Suatu acara yang luar biasa mengesankan.
Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya dan pengantin pria dalam tuxedo hitam yang gagah. Setiap pasang mata yang memandang setuju mengatakan bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.
Beberapa bulan kemudian, sang istri berkata kepada suaminya, “Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan” katanya sambil menyodorkan majalah tersebut.
“Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia …”
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama. Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya. “Aku akan mulai duluan ya”, kata sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman …. Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa airmata suaminya mulai mengalir ….
“Maaf, apakah aku harus berhenti?” tanyanya. “Oh tidak, lanjutkan …” jawab suaminya. Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis di atas meja dan berkata dengan bahagia. “Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu”.
Dengan suara perlahan suaminya berkata “Aku tidak mencatat sesuatu pun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satu pun dari pribadimu yang kudapatkan kurang …!!”
Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya. Bahwa suaminya menerimanya apa adanya … Ia menunduk dan menangis …

Dalam hidup ini, banyak kali kita merasa dikecewakan, depresi, dan sakit hati. Sesungguhnya tak perlu menghabiskan waktu memikirkan hal-hal tersebut. Hidup ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan, dan pengharapan.
Mengapa harus menghabiskan waktu memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan, dan menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal yang indah di sekeliling kita? Saya percaya kita akan menjadi orang yang berbahagia jika kita mampu melihat dan bersyukur untuk hal-hal yang baik dan mencoba melupakan yang buruk.

Read More..

ANAK-ANAK KARBITAN I


*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen
Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan
Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Anak-anak yang digegas
Menjadi cepat mekar
Cepat matang
Cepat layu...

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik. Tamankanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah perbulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui
kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua ...

Captive market I
Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidaktahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas...
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnva bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra scorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ? James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung
mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada bcberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada scorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan mcnggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh
mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia mcnjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam
kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan pcnemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.

Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kogtutif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training". Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang dimana-rnana, di Indonesia....

"Early Ripe, early Rot...!"
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan "peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak­Kanak (Pra Sekolah). TamanKanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amcrika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari HarvardUniversityyang menulis sebuah buku terkenal " The Process of Education" pada lahun 1960, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. "We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development".
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salah artikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot!

Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep "kesiapan-readiness" dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological limitiions on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.

Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak­anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi "miniature orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu
merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa. berpikir dan perilaku anak lumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah
perhatikan, khususnva saat perilaku anak menampilkan gaya "kedewasaan ", sementara perasaannya menangis berteriak sebagai "anak".

Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki "Heintje" di era tahun 70-an...
I'm Nobody'S Child
I'M NOBODY'S CHILD
I'M nobody's child I'm nobodys child
Just like aflower I'm growing wild
No mommies kisses
and no daddv's smile
Nobody's louch me I'm nobody's child

Dampak Berikutnya Terjadi... ketika anak memasuki usia remaja Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia 0' Brien menamakannya sebagai "The Shrinking of Childhood'. " Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks " serunya
bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, .... sebuah proses dalam kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak menuliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai "Cinderella Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata vang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai Ies, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orang tua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di Iembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.


Read More..