Rabu, 28 Desember 2011

Surat untuk ananda sholehan Anisa Fairish LBPA



Untuk Ananda sholehah Anisa Fairish LBPA.

Nisa bunda dan ayah sayang sama nisa. Alhamdulillah bunda senang nisa rajin berdo'a, sayang pada ayah, bunda, mba ima ke 2 , kaka tira dan adik indie.

Bunda senang semuanya saling menyayangi.

Pesan Bunda agar Nisa semakin rajin; sekolah, ngaji dan sholat.

Mandi sendiri, makan sendiri, menyiapkan buku sekolah, pergi sekolah sendiri naik sepeda. Bercanda dan bermain dengan semuanya.

Semoga nisa selalu senang, selalu riang gembira, mudah meminta maaf juga memberi maaf atas kesalahan dari: ayah dan bunda, kaka tira, mba ima 2 dan indie.

Bunda selalu mendoakan Anisa, bunda percaya Nisa sama pintarnya , sama rajinnya dengan kaka Athira.

InsyaALLah NISA BISA BERUBAH LEBIH BAIK LAGI DARI SAAT INI.

BUNDA CINTA DAN SAYANG NISA Read More..

Rabu, 14 Desember 2011

Dosa Istri yang Durhaka


Allah Ta’ala berfirman, “Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka, hendaklah kalian menasehati mereka atau pisahkan mereka dari tempat tidur, atau pukullah mereka. Dan jika mereka sudah kembali taat kepada kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyakiti) mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa’: 34)

Al-Wahidi rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dengan ‘nusyuz’ pada ayat diatas adalah kedurhakaan terhadap suami, yakni merasa lebih tinggi dihadapan suaminya disaat terjadi perselisihan.”
Atha’ berkata, “Maksudnya adalah seorang istri yang mengenakan wewangian dihadapan (suami)nya, namun tidak mau ‘dikumpuli’, serta berubah sikap dan ketaatan yang dulu pernah dilakukannya.”

Maksud firman-Nya (yang artinya), “Hendaklah kalian menasehati mereka,” yaitu nasehatilah mereka dengan kitab Allah dan ingatkanlah akan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka (para istri).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat (yang artinya) “Atau pisahkan mereka dari tempat tidur,” yakni dengan membelakanginya dan tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan Sya’bi dan Mujahid menafsirkan dengan cara meninggalkan tempat tidurnya dan tidak menggaulinya.

Tafsir ayat (yang artinya) “Atau pukullah mereka,” yakni memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakannya.

Sedangkan maksud firman-Nya (yang artinya) “Jika mereka menaati kalian,” adalah janganlah kalian (suami) mencari-cari alasan untuk menyakiti mereka (istri).

Seorang istri memiliki kewajiban yang besar untuk patuh kepada suaminya. Kepatuhan ini tentu tidak berlaku jika seorang suami memerintahkan istrinya untuk bermaksiat kepada Allah, sebab tidak ada kepatuhan terhadap perintah manusia dalam berbuat maksiat kepada Allah.

Jika seorang istri yang patuh kepada suaminya akan memperoleh keutamaan pahala yang besar, maka sebaliknya, istri yang durhaka kepada suaminya akan mendapat ganjaran dosa dan laknat baik dari Allah maupun makhluk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak datang, (maka) malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Jika pada malam hari seorang istri meninggalkan tempat tidur suaminya dan menolak ajakannya, maka penduduk langit marah kepadanya hingga suaminya rela kepadanya.” (HR. Nasa’i)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada tiga orang yang tidak diterima shalatnya, dan kebaikannya tidak diangkat kelangit: budak yang melarikan diri dari tuan-tuannya hingga ia kembali kepada mereka dan meletakkan tangannya pada mereka (menyerah dan taat); seorang istri yang dimarahi suaminya hingga ia ridha kepadanya; dan orang yang mabuk hingga siuman.” (HR. Thabrani dan Ibnu Khuzaimah)

Sudah seharusnya seorang istri berusaha untuk taat dan menunaikan kewajibannya terhadap suaminya. Begitu besarnya hak suami terhadap istrinya, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika aku diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, pastilah aku akan menyuruh seorang wanita bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Seorang bibi dari Hushain bin Muhsin bercerita perihal suaminya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah berkata kepadanya, “Lihatlah kedudukanmu dihadapannya, ia adalah surga dan nerakamu.” (HR. Nasa’i)

Seorang istri wajib meminta ridha suaminya dan menjaga dirinya dari kemarahannya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang wanita meninggal dunia, sedangkan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim)

Oleh karena itu, seorang istri berhati-hati dari kedurhakaan terhadap suaminya, karena kedurhakaannya bisa mengantarkannya kedalam neraka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku melihat neraka, dan aku dapatkan ternyata sebagian besar penghuninya adalah wanita.”

Hal itu disebabkan karena kurangnya ketaatan istri kepada Allah, Rasul-Nya, dan suami mereka. Selain itu, para istri itu pun sering ber-tabarruj (memamerkan dandanannya kepada orang lain). Tabarruj artinya seorang istri keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian terbaiknya dan berdandan, serta bersolek hingga membuat orang-orang terfitnah oleh penampilannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, (melainkan) istrinya yang lain dari bidadari berkata, ‘Janganlah menyakitinya, semoga Allah membunuhmu.’” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

(Imam Adz-Dzahabi. 2008. Al-Kabair, Galaksi Dosa terjemah: Asfuri Bahri. Jakarta: Darul Falah)

Read More..

Kekuatan Cinta (1)


Jika seribu orang diminta menyampaikan pemahamannya tentang cinta berdasar pengalaman hidupnya, maka akan ada seribu macam ungkapan tentang cinta, karena cinta itu indah, obyektip, juga subyektip serta misterius, bergantung pengalaman masing-masing.

Ada yang menyimpulkan bahwa cinta itu motivator yang sangat kuat, yang lain mengatakan bahwa cinta itu keindahan yang susah diterangkan, yang lain mengatakan bahwa cinta itu adalah penderitaan yang yang sangat menyakitkan.

• Ada orang yang termotivasi oleh dorongan cintanya sehingga ia menjadi orang yang sangat berani dan tak kenal menyerah dalam menghadapi tantangan,sehingga baginya, demi untuk cinta….gunung akan ku daki, lautanpun akan ku seberangi.

• Ada orang yang dapat merasakan keindahan cintanya sehingga semua yang Nampak; air, gunung, awan, langit biru bahkan sampahpun terlihat indah.

• Sebaliknya ada orang yang karena kegagalan cintanya membuat semua yang ada itu terasa menjengkelkan. Senyuman orang dirasakan sebagai ledekan, kemesraan pasangan di rumah sebelah terasa menyakitkan, kicauan burung terasa sebagai sindiran, pokoknya tidak ada sesuatupun yang indah. Penderitaan cinta membuat semua yang ada menambah penderitaannya.

Jadi cinta itu apa ? Sesungguhnya cinta yang ada pada manusia itu berasal dari sang Pencipta, yaitu Tuhan. Allah memiliki sifat kasih sayang, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ar Rohman ar Rohim. Limpahan kasih sayang Tuhan itu menjelma dalam ciptaannya, maka proses reproduksi manusia selalu sarat dengan rasa cinta kasih, dari jatuh cinta, kemudian menjalin cinta, kontrak cinta (akad nikah), bermain cinta suami isteri, meneteskan gen di dalam garba kasih sayang (rahim ibu), dan seterusnya lahir bayi dengan penuh fitrah kasih sayang, tumbuh kembang hingga dewasa kesemuanya diselimuti rasa cinta dan kasih sayang.

Orang pun dalam berbagai bangsa dan budaya menyebut cinta dengan banyak ungkapan bergantung nuansanya.

Secara lebih spesifik, bahasa Arab menyebutnya dengan enam puluh istilah jenis cinta, seperti `isyqun (dalam bahasa Indonesia menjadi asyik), hilm, gharam (asmara), wajd, syauq, lahf dan sebagainya. Al Qur’an sebagai firrman Tuhan yang Maha pengasih dan Penyayang menyebut tujuh term cinta,yaitu; :

1. Mawaddah (Q/30:31), Mawaddah adalah jenis cinta yang mengebu-gebu, membara, bergelora dan “ngegemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Bagi orang yang dilanda cinta mawaddah, dunia adalah milik kita berdua, orang lain tidak ada.

2. Rahmah (Q/30;31), Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Nasehat perkawinan selalu ada doa dan harapan agar pasangan dikarunia cinta mawaddah dan rahmah.

3. Mail, jenis cinta yang ini memiliki karakteristik; untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.

4. Syaghaf, cinta jenis ini sifatnya sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir ketika tergila-gila kepada bujangnya, Yusuf.

5. Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat. Ketika orang yang dicintainya itu melakukan kesalahan, ia bukan saja tidak menghukum, malah membelanya. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2). Janganlah rasa kasihan menyebabkan keadilan tidak ditegakkan.

6.Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku menyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdo'a agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33).

7. Syauq (rindu), Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi.

8. Kulfah, cinta jenis kulfah adalah perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286).
posted by : Mubarok institute

Read More..

Kekuatan Cinta (2)


Menurut hadist Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.

Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Tuhan, maka ia lebih suka berbicara dengan Tuhan, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Tuhan dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Tuhan dari pada perintah yang lain.

Menurut Imam Gazali ada empat tingkat kualitas cinta; (1) cinta diri, semua hal yang berhubungan cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri, (2) cinta transaksional, yakni cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan bagi dirinya, seperti cintanya pedagang kepada pembeli, (3) cinta kepada orang baik meski tak memperoleh keuntungan langsung, seperti cinta orang kepada ulama dan pemimpin, ia sanggup berkorban demi orang baik yang dicintainya. (4) cinta kepada kebaikan, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan itu, bahkan kebaikan yang ada pada musuhnya. Cinta jenis terakhir inilah yang bisa mengantar manusia ke tingkat cinta kepada Tuhan. Bagi sufi Rabi`ah al Adawiah, cintanya kepada Tuhan bahkan sudah tidak memberi ruang di dalam hatinya untuk membenci, bahkan untuk membenci syaitan.

Karena cinta merupakan motiv atau faktor penggerak tingkah laku, maka kualitas cintanya akan mempengaruhi kualitas perilakunya. Cinta transaksional misalnya hanya mendorong pada perbuatan yang menurut hitungannya memberikan keuntungan. Jika keuntungan tidak terbayangkan maka perasaan cintanya berkurang dan mudah berpindah kepada orang lain yang menjanjikan keuntungan. Sedangkan cinta kepada tokoh idola dapat menggiring pada sifat cinta buta, yakni kesanggupan membela sampai titik darah penghabisan sang tokoh idola, meski belum tentu tahu substansi yang dibela. Ekpressi cinta ini dapat dilihat pada pengagum Bung Karno yang berikrar dengan kalimat pejah gesang nderek Bung Karno, yakni hidup dan mati ikut Bung Karno. Ikrar seperti ini sebenarnya hanya dibolehkan untuk Tuhan, karena Tuhan pasti benar, sedangkan manusia, meski ia pemimpin besar tetap saja subyektip. Orang Islam diajarkan untuk selalu ikrar inna salati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil `alamin, sesungguhnya salatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, sekurang-kurangnya lima kali dalam sehari.

Karena cinta bersifat indah, maka orang yang sedang dimabuk cinta hatinya selalu berbunga-bunga, wajahnya berseri-seri, mempersepsi alam (misalnya bulan, gemerincik air, langit biru , bentangan alam dan sebagainya) sebagai dukungan atas cintanya, oleh karena itu ia mengerjakan pekerjaan dengan riang gembira. Sebaliknya orang yang sedang menderita karena cinta, misalnya cintanya ditolak, maka hatinya menjadi gelap, dan semua pemandangan seperti mengejeknya, dan pekerjaan sebagai sesuatu yang menyebalkan. Hanya orang yang kuat kepribadiannya yang justeru dapat melupakan kegetiran cintanya dengan memindahkan konsentrasianya pada pekerjaan..
posted by : Mubarok institute


Read More..

Menghayati Kehidupan Keluarga


Ada Pengalaman menarik ketika saya mengajar di program kajian Paramadina, yaitu banyaknya orang berkonsultasi. Pada umumnya mereka berkonsultasi masalah-masalah kehidupan berkeluarga. Semakin lama, saya semakin tertarik untuk mendalami masalah-masalah kehidupan keluarga. Ketertarikan kepada masalah keluarga sesungguhnya sudah berlangsung lama dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sewaktu dalam usia 19-20 tahunan saya belajar di pesantren, ada santri-santri yang sudah berumah tangga. Yang mengherankan, kalau mereka punya persoalan rumah tangga, mereka mengadu kepada saya, padahal saya masih bujangan kala itu.

Nah ketika berinteraksi di lingkungan khusus yaitu di kalangan elite, saya memperoleh begitu banyak masukan tentang problem-problem rumah tangga. Bersamaan dengan itu, saya pun sering menghayati kehidupan rumah tangga sendiri yang telah lama dijalani karena sayapun sesunguhnya juga memiliki persoalan dalam kehidupan keluarga saya. Di satu sisi ia menghayati problem kehidupan dirinya, sedangkan di sisi lain ia selalu mendengar keluhan dari klien. Maka perhatiannya kepada masalah keluarga menjadi semakin besar dan penuh penghayatan. Akhirnya tanpa disengaja sayapun menjadi seorang konselor keluarga.

Pada saat nama saya sudah dikenal, BP4 (Badan Penyelenggara Penasihat Perkawinan dan Perceraian) pun selalu mengundang. Karena kedekatan saya dengan mahasiswa dan karena sering menjadi tempat berbagi, maka sayapun akrab sekali dengan problem-problem mahasiswa dan sering membantu mereka. Tidak jarang saya bertindak seperti orang tua; misalnya bila ada yang jatuh hati kepada seseorang sedangkan orang tuanya jauh, maka saya sering diminta untuk melamar. Ada pula mahasiswi-mahasiswi yang punya pikiran iseng, ingin menjadi isteri saya.

Bukan hanya di kampus, di pengajian-pengajian pun saya akrab dengan peserta-peserta pengajian. Banyak di antara mereka yang sering mengeluarkan uneg-unegnya. Di antara pengajian yang suka mengundangnya adalah Namira, sebuah kelompok pengajian di Pondok Indah. saya juga sering mengisi program-program kuliah shubuh di di TVRI yang biasanya seputar kehidupan keluarga. Dari penghayatan itu saya tergerak untuk menulis buku Psikologi Keluarga. Buku itu pun dipakai sebagai bahan kuliah Psikologi Keluarga di Pasca Sarjana UI dan saya pula yang mengajarnya. Puncak dari penekunan masalah keluarga tercapai ketika saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Juri ”Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional” yang dimulai sewaktu Said Agil Al-Munawar menjabat Menteri Agama. Keterlibatannya dalam kegiatan ini telah berlangsung selama tujuh tahun tahun berturut-turut.

Banyak sekali pengalaman yang menarik ketika sebagai Ketua Tim Juri bersama anggota-anggota tim yang lain mewawancarai kandidat Keluarga Teladan. Peserta Pemilihan Keluarga Teladan ini adalah mereka yang sudah mempunyai pengalaman berkeluarga selama 40 tahun lebih.

Di antara pengalaman dalam mewawancarai mereka adalah kepada pasangan yang kemudian menjadi juara pertama, saya bertanya: ”Pak, selama ini Bapak memimpin rumah tangga atau Bapak menurut saja sama Ibu.?” Jawabannya, ”Ah, saya mengalahlah sama ibu.’” Ketika mewawancari istrinya, saya juga bertanya. ”Bu, selama ini Ibu diatur Bapak atau Ibu yang mengatur Bapak?” Jawabnya, ”Aduh! Saya ini kan istrinya, saya ini perempuan. Saya mengalahlah sama Bapak.” Nah ketika wawancara digabung, mereka ditanya, ”Bagaimana ini, katanya Bapak mengalah sama Ibu, tapi kata Ibu, ia mengalah sama Bapak. Sebenarnya Bapak yang mengalah sama Ibu atau Ibu yang mengalah sama Bapak?” Ternyata jawabannya demikian, ”barangkali dari dua sikap mengalah inilah yang akhirnya melahirkan kemenangan bersama.”

Pasangan yang menjadi pemenang pertama ini berasal dari Jawa Barat. Suaminya guru SMP, sedangkan istrinya guru SD. Anak mereka delapan orang, semuanya sarjana, yang menjadi doktor ada tiga orang.
Ada lagi pasangan pedagang kecil dari Cilacap yang kemudian terpilih menjadi keluarga teladan III.. Suaminya hanya tamatan Sekolah Persamaan SMA (KPA) sedangkan istrinya tamatan SMP. Anaknya tiga orang menjadi doktor dan menantunya juga doktor dari luar negeri. Sang ibu berdagang kue dan rumahnya sederhana. Sebagai juri, saya berkata kepadanya, ”Bapak hebat, bisa menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi semua.” Si ayah menanggapi begini, ’Oh! sesungguhnya saya hanya menyekolahkan mereka sampai SMA. Setelah tamat semuanya mendapatkan beasiswa. Malah sesudah mendapat beasiswa, setiap tahun mereka mengirimkan uang kepada kami.”

Penasaran atas jawaban mereka, saya bertanya lagi, ”Tetapi mungkin Bapak punya rahasia, bagaimana dengan kehidupan yang sederhana, anda bisa melahirkan generasi yang bermutu?” Ia menjawab, ”Ya, ada kuncinya. Seingat saya, anak saya belum pernah saya kasih makan kecuali yang saya jamin halalnya. Itulah sebabnya istri saya sampai saat ini masih berjulan kue, karena jualan kue itu halal, tidak ada sangkut pautnya dengan korupsi.”

Saya tanya lagi,”Anak-anak Bapak hebat-hebat semua. Kok tinggal di tempat seperti ini?” Ia menjawab, ’Sesungguhnya saya punya rumah besar, besar sekali. Rumah ini dibangun oleh anak-anak saya, namun saya malu untuk tinggal di rumah sebagus itu. Rumah itu hanya dipakai kalau anak-anak pulang atau ketika ada kepentingan sosial bagi masyarakat di sini.’” Dari keluarga teladan ke III ini dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh nafkah halal itu ternyata luar biasa, satu hal yang sudah jarang diperhatikan orang.

Dari pengalaman tujuh tahun menjadi tim juri saya mendapati kenyataan bahwa kesuksesan keluarga itu tidak selalu sejalan dengan tingkat pendidikan! Tidak sedikit di antara mereka yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi dan mendapatkan prestasi yang membanggakan, padahal pendidikan mereka biasa-biasa saja, banyak pula yang tidak sarjana. Sementara tak jarang, keluarga yang sangat terpelajar ternyata gagal dalam mendidik anak-anaknya..

Saya juga banyak tertarik masalah keluarga ketika bersentuhan dengan problem-problem murid saat menjadi guru BP. Dari melihat problem murid kemudian meningkat melihat problem keluarga , dan akhirnya ia mendalami masalah-masalah kehidupan keluarga.
Meski pekerjaannya membantu problem orang, tidak selalu seorang konselor lancar-lancar saja dalam tugasnya dan tidak mengalami problem dalam dirinya berkaitan dengan tugasnya itu.

Suatu ketika saya pernah mendapatkan pengalaman yang berat, yakni jatuh cinta kepada klien. Awalnya sang klien sangat bergantung kepada saya. Lalu muncul godaan, sering kali saya merasa rindu, sampai kemudian bertanya-tanya kepada diri sendiri, sesungguhnya apa yang ia cari; apakah benar-benar ingin menolongnya ataukah rindu ingin bertemu dengannya? Beruntunglah saya selamat dari godaan dan tidak terjadi apa-apa. Dalam waktu lama, sekitar lima tahun, saya pernah surat-menyurat dengan klien meskipun isinya hanya nasihat, bukan ungkapan cinta. Celakanya, nasihat Mubarok betul-betul dijadikan sebagai pegangan suci bagi klien, sehingga saya dianggap sebagai malaikat penolong. Sebenarnya saya hanya pernah bertemu sekali dengannya. Setelah itu tidak lagi bertemu, kemudian dilanjutkan saling berkirim surat tetapi justru dengan surat-menyurat itulah ia tergoda. Sampai si klien berada di luar negeri pun tepatnya di Jerman ia terus saling berkirim surat . Akhirnya suatu saat ketika ia memberitahu sedang berada di tanah air karena didorong rasa kerinduan, saya mengejarnya ke Bandung. Lucunya, setelah bertemu, saya sama sekali tidak tertarik . Perasaannya biasa-biasa saja. Rupanya rasa kangen itu hanya tipuan komunikasi. Ketika perjumpaan pertama, perempuan itu masih mempunyai suami, sehingga Mubarok tak berpikir apa-apa terhadapnya. Kemudian ia bercerai dengan suaminya. Selama masa krisis sebagai seorang janda, ia selalu berkonsultasi dengan Mubarok lewat surat. Begitulah seterusnya. Setelah pertemuan rasa cinta dan rindu itu hilang, saya kembali merasa murni menjadi konselor. Pada akhirnya sang klien menikah dengan seorang Eropa Muslim dan sering berpindah-pindah di luar negeri bersama suaminya. Ketika berada di Pakistan, ia bertemu dengan mahasiswa saya. Menariknya, pada saat mahasiswa itu pulang, mantan kliennya menitipkan uang untuknya sebanyak 500 Dolar U$.

Saya sadar betul bahwa konselor rentan terhadap godaan meskipun sang klien tidak bermaksud menggoda. Interaksi konselor dengan klien dalam waktu yang lama seringkali memunculkan perasaan-perasaan tertentu yang terkadang tak disadari. Untuk menghindari itu tentu harus ada kiatnya. Saya punya cara untuk itu. Maka saya berusaha agar setiap konsultasi berlangsung harus ada orang lain yang hadir di ruangan itu meskipun tidak terlibat dalam konsultasi. Saya tak mau hanya berdua saja dengan klien di ruangan itu, karena kata hadis Nabi, jika dua orang laki perempuan hanya berdua di tempat sepi maka syaitan akan menjadi orang ketiganya...

Oleh ; Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA
Read More..

Sedalam Samudra Hati Mbak Ana


TERUNTUK rasa syukur kita yang tipis dan kian terkikis, saya kisahkan sebuah penggal kehidupan sederhana yang dalam. Sedalam kita memantik hikmah di belakangnya, sedalam itu pula saya harap keberkahan mengalir pada sungai kebahagiaan mereka.

Sebut saja Mbak Ana, perempuan paruh baya berputri 1 kelas 6 SD ini sudah 3 bulan menjadi ART paruh waktu di rumah saya. Mbak Ana, begitu saya menyebut nama samarannya, adalah tetangga teman sekantor suami saya. Sehingga kami merasa sedikit ada garansi tentang ART baru kami. Sebab cemas akibat ulah ART sebelumnya yang tertangkap tangan mencuri sejumlah uang belumlah sempurna hilang. Inilah kisahnya yang saya tulisa dalam bentuk cerita.

****

Gesit. Itu kesan pertama saya terhadap Mbak Ana. Beliau membereskan pekerjaan yang tidak saya limpahkan padanya. Seperti halnya mencuci, saya hanya membutuhkan tenaga Mbak Ana untuk mencuci tangan popok bayi dan pakaian kantor suami. Selebihnya bisa saya giling dengan mesin. Namun dihari pertama bekerja, betapa saya takjub mendapati pakaian di dalam mesin sudah dibereskan semua dengan tangannya. “Nggak apa, Mbak,” katanya ikhlas.

Lantai rumah pun menjadi kesat sebab tehnik mengepel yang sungguh saya tak sanggup melakukannya. Di bulan Ramadhan, saya mengingatkan Mbak Ana untuk tidak memforsir tenaga. Namun ia melakukan semua pekerjaan seperti biasa.
Hari libur yang saya beri di awal Ramadhan pun tak diambilnya. Bahkan pada 2 syawal (versi pemerintah) Mbak Ana sudah masuk. Dan terpaksa pulang sebab saya sungguh tak ingin merobek jalinan silaturahimnya dengan sanak saudara.

“Saya tak punya saudara, Mbak,” ceritanya satu kesempatan setelah syawal. Sembari menyetrika, saya ajak ngobrol Mbak Ana yang perantauan asal Jawa Tengah.

“Suami punya saudara kandung 1 tapi sepertinya sudah tak ingin bersaudara dengan kami yang miskin ini,” lanjutnya menceritakan sang ipar yang punya jabatan pada institusi Negara di Batam ini. Pikir saya, sombong betul pejabat ini.

“Mbak dan suami punya salah apa dengan mereka?”

“Nggak tahu, Mbak. Dulunya kan rumah kami depan-belakang. Ya itupun nggak kayak saudara. Saya operasi melahirkan pun mereka nggak menjenguk. Saya tanya suami katanya dia gak pernah ada masalah dengan saudaranya itu. Tau lah, Mbak.Makanya kami mending menjauh saja. Eh, kami pergi, malahan rumah kami dicaplok. Gak ijin pula, cuma nyuruh orang aja bilang ke kami,” jawabnya dengan nada sungguh biasa. Barangkali, perasaan Mbak Ana ini sudah melompong.

Lalu saya yang outsider ini tak habis pikir, bagaimana mungkin si saudara yang mampu, mencaplok rumah hasil kerja Mbak Ana dan suaminya. Sehingga sudah 12 tahun ini Mbak Ana menjadi kontraktor. Ngontrak sana-ngontrak sini. Jika diperbolehkan, rasanya ingin sekali saya meninjunya!

“Lha, dulu suami Mbak katanya kerja di Hotel, kenapa keluar?” sengaja saya putar topik agar tak terlalu membuat Mbak Ana mengenang yang suram.

“Nah, dulu kan suami saya punya guru, orang pinter gitu Mbak. Orang pinter itu bilang, kamu kerja di Hotel kan tahu Hotel itu tempat apa. Banyak maksiat di sana. Sekarang kamu punya istri sudah punya anak juga, apa kamu mau ngasi makan anak istrimu dari tempat yang kayak gitu. Gitu katanya, Mbak….” Saya manggut-manggut mendengar cerita Mbak Ana.

“Jadi suami saya mikir-mikir. Memang betul katanya. Dia tahu kalau hotel tempatnya kerja sering didatangi Pak K (seorang pengusaha kelas kakap di Batam) berikut gadis-gadis yang kinyis-kinyis. Itu kan maksiat. Tapi suami saya gak berani bilang ke saya sampai 3 hari dia gak bisa tidur. Waktu saya tanya ada masalah apa baru dia bilang, “Bu, kalau aku keluar dari hotel trus gak dapet kerjaan, cuma ngojek aja, apa Ibuk masih mau sama aku”? tanyanya begitu.

So weet banget, yah? Saya pikir dialog ini cuma ada di sinetron-sinetron, lho…

“Wah sayang banget padahal, ya Mbak…” pancing saya untuk mengetahui respon Mbak Ana tentang alih profesi menjadi ojekr ini.

“Gak papa lah, Mbak. Walau ngojek yang penting rejeki halal.” Jawabnya mantap. Menohok saya yang masih suka galau soal rejeki. Padahal kalau belum rejekinya, mungkin Allah kira-kira mau bilang ke saya…periksa lagi jalan rejekimu, kalau lurus tak mungkin nyasar!

Berbilang 12 tahun, saat ini, suami Mbak Ana masih tetap ngojek. Pun mereka masih kontraktor. Tetapi kebahagiaan mereka nyata. Anak semata wayang sungguh manis berbakti pada orangtua. Sama sekali jauh dari kesan anak jaman sekarang yang banyak tuntutan. Bahkan ia selalu mendapat peringkat terbaik pada tiap-tiap pembagian rapor di sekolah.

Sebagai hamba yang diberi lebih banyak kenikmatan oleh Allah, saya nyaris miris. Kondisi serba kontradiktif dengan keluarga Mbak Ana yang sejatinya mampu menghalau banyak galau di hati saya.

Hari ini, saya coba selami dalamnya samudra hati dari keluarga Mbak Ana yang tak kunjung membawa saya hingga ke dasarnya; keikhlasan…*/Dwi, Batam, November 2011

Read More..