Senin, 24 Oktober 2011

Haruskah Bercerai


“Rani ingin bercerai bu,” isak tangis Rani dibalik gagang telepon yang membuat ibunya tercengang. Tak tahu mau berkata apa, perceraian adalah hal yang biasa di dengar dimana-mana, menimpa siapa saja, dari artis sampai ustadz sekalipun namun tidak terbayang hancurnya hati seorang ibu bila perceraian itu menimpa anak gadisnya. Dari sejak mahasiswi, Rani terkenal sebagai aktivis kampus yang memiliki banyak kawan. Mula-mula ibu khawatir pada Rani karena dia begitu banyak kegiatan di luar sehingga khawatir lupa untuk menikah. Bahkan ibu juga pernah mendengar ketika Rani berbicara dengan gaya yang tegas lalu menutup telepon setelah memberi salam dengan intonasi suara yang tidak lembut sama sekali.

“Mana ada lelaki yang mau menikah dengan anakku bila semuanya digalakkan seperti begitu,” ucap sang ibu. Rani hanya tersenyum saja ketika ibu menasehatinya karena bagi Rani, ibu tidak mengerti konsep hijab dalam Islam yang mengajarkan wanita untuk bicara seperlunya saja pada lelaki dan tidak melembut-lembutkan suara.

Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab [33] : 32)

Dengan berjalannya waktu, akhirnya ibu mengerti semua pemikiran dan permintaan Rani karena banyak hal-hal positif juga yang ibu lihat dalam akhlak Rani termasuk pernikahan Rani yang tidak mengenal pasangannya. Rani tidak mengenal pacaran sebagaimana anak-anak lain kawan ibunya Rani. Semua berlalu dengan sangat mulus, sampai akhirnya ibu mendengar isak tangisan Rani dari balik telepon yang mengatakan bahwa Rani ingin bercerai.

Masalah dalam rumah tangga memang selalu ada, maka tidak heran bila kita sering mendengar perkataan orang kepada calon mempelai, ”selamat menempuh hidup baru”. Ya, pernyataan itu memang tepat karena bila kita menikah, semuanya serba baru. Kehidupan yang betul-betul totally berubah, berubah 180 derajat, yang tadinya sendiri setelah menikah menjadi berdua, tadinya tidak punya tanggung jawab menjadi jadi punya tanggung jawab lalu punya anak yang terasa ajaib, “kok bisa ada makhluk kecil disampingku, datang dari mana yaa, kan awalnya cuma kita berdua dengan suami/istri,” begitu pikiran pasangan muda dalam penikahan bila baru dikaruniai anak. Hal-hal yang menakjubkan selama menjalani kehidupan pernikahan itulah yang dinamakan hidup baru, yang juga orang-orang katakan sebagai memasuki gerbang pernikahan. Masalah dalam pernikahan akan ditemukan pada setiap manusia, maka tak heran bila dikatakan menikah adalah setengah dien. Mengapa demikian, karena tanggungjawabnya banyak, masalahnya banyak dan pahalanya juga banyak serta hmm.. mungkin dosanya juga banyak.

“Bila menghadapi permasalahan dan mengerjakan tanggungjawab dengan cara yang tidak syar’i, apa alasanmu ingin bercerai Rani...” ibu bertanya keras kepada Rani. “Rani sudah tidak kuat lagi bu, bang Ihsan terlalu mendominasi dan terlalu memaksakan kehendak karena dia adalah pemimpin rumah tangga...”jawab Rani.

Satu hal terpenting dari sebuah rumah tangga adalah dahulukan syari’ah dalam mengambil keputusan, pentingkan komunikasi dua arah, tidak mudah suudzhon dan selalu mendahulukan sangka baik. Siapkan 1000 alasan untuk suudzhon dan yang terpenting usahakan segala cara untuk menyelamatkan pernikahan. Perbanyak ibadah dan berdo,a serta bersabar, banyak mengalah dan banyak lagi.. namun jangan jadikan bercerai sebagai solusi bagi semua masalah, ibarat orang hidup susah dan merasa hidup ini sangat menyusahkan maka berfikir bahwa bunuh diri adalah solusi untuk mengakhiri hidup ini. Ingatlah dunia tidak selalu indah dan langit tak selalu cerah sehingga masalah pasti ada. Ingatlah anak, ketika ingin bercerai dan renungkanlah setelah bercerai apakah hidup akan lebih baik atau tidak, bukan hanya untuk kita tapi juga untuk anak-anak. Murid saya disekolah pernah berkata, “hal yang paling menyedihkan dalam hidupku adalah bila ayah ibu jadi bercerai, rasanya kayak gempa bumi.”

Biasanya anak-anak yang orangtuanya bercerai akan menjadi pemurung, minder dan bermasalah di sekolah. Menurut pendapat kawan saya yang baru saja bercerai mengatakan bahwa perceraian sangat menyakitkan, hal yang paling menyakitkan dalam hidup. Percayalah bahwa bercerai bukanlah solusi yang terbaik dalam mengatasi masalah dalam pernikahan, maka tak heran bila dibenci Allah kan..? mungkin karena dampaknya itu lho.. seperti yang disabdakan Rasulullah dalam haditsnya, “Sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak (cerai).” (HR. Muslim) dan “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”(HR. Muslim)
Read More..

Menikah Tapi Tidak Bisa Masak Nasi


Pernikahan bagi seorang muslimah adalah suatu hal yang sakral dan begitu bahagia rasanya bila ada seorang lelaki yang meminang. “Akhirnya ada juga yang memilih saya,” begitulah biasanya gurauan dan nasihat yang diselingi canda membuat sang muslimah mukanya merah dan merasa malu. Ya malu-malu senang, atau biasa dikatakan tersipu-sipu malu.

Hal yang harus dipersiapkan oleh para muslimah menjelang nikah biasanya adalah persiapan lahir. Kalau yang satu ini kebanyakan para sanak saudara dan orang tua yang menyuruh para muslimah untuk memikirkan hal ini, yaitu dengan menyuruh luluran, bersih-bersih diri bahkan tidak jarang dicampur adukkan dengan kepercayaan sang orang tua misalnya siraman dan lain-lain. Ada beberapa muslimah yang mengikuti tapi ada juga yang tidak mengikuti. Namun akhirnya terjadilah kesepakatan acara pernikahan yang menggetarkan dengan memikirkan soal undangan, siapa yang akan diundang, tempat diadakan acara dan juga sedikit rebut- ribut kecil yang ujung-ujungnya adalah soal biaya. Dan semua itu membuat sang muslimah selama beberapa bulan atau beberapa minggu menjelang pernikahan sibuk dengan hal-hal yang merupakan bagian daripada rutinitas pernikahan yang hanya sehari saja.

Terkadang saya heran juga melihat persiapan yang dilakukan berbulan-bulan bahkan disertai dengan rapat ini itu yang sebetulnya hanya untuk menyiapkan sebuah acara yang dilakukan hanya beberapa jam saja dengan biaya yang lumayan banyak yaitu sampai jutaan lah kalau mau dihitung. Semua pihak juga mempersiapkan hari tersebut agar rapi dan tidak kacau, sementara itu biasanya kawan pengajian, sang murobiyah atau ustadzah membekali sang muslimah dengan petuah-petuah bagaimana manjadi istri yang baik, solehah, taat, enak bila dipandangnya serta akhlak akal lainnya dalam berumah tangga. Namun ada satu hal yang nyaris dilupakan para orang tua dan para murobiyah dalam melepas sang muslimah untuk menikah, hal yang cukup lumayan penting dan mengganggu bila tidak dapat dilaksanakan yaitu memasak nasi.

Berapa banyak cerita mengenai muslimah yang baru menikah namun ketika masak nasi menggunakan rice cooker, lupa ditekan tombol cook-nya sehingga ketika waktu makan malam tiba, nasi masih menjadi beras yang hangat dan sang suami bila sabar maka akan diam saja, namun bila tidak sabar akan membuat suasana di malam hari menjadi tidak nyaman dan tak khayal pertengkaran kecil kerap terjadi. Selain itu pemborosan juga namanya bila sang muslimah yang tidak pandai memasak karena harus menghabiskan uangnya untuk mencoba-coba berbagai masakan, namun akhirnya mungkin lauk ada yang terbuang atau terdiamkan diatas meja dalam waktu lama karena keasinan yang kalau dibuang saying tapi kalau dimakan, masya Allah asinnya bikin semangat makan hilang sehari semalam. Akibatnya, karena panik seringkali sang muslimah yang sudah menjadi istri harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli makanan dari warung sebelah rumah.

Sudah selayaknya begitu seorang muslimah akil baligh, pelajaran pertama selain akhlak dan adab-adab sebagai muslimah dari segi berpakaian, ibadah, mandi janabaha dan lain-lain, maka diwajibkan untuk turun ke dapur, bukan hanya membantu, kalau perlu tugas memasak nasi, membuat lauk dan lain-lain diserahkan pada anak gadis kita, bukan diserahkan kepada pembantu sementara anak kita tinggal duduk makan dengan tenangnya (kalau bahasa jakartanya duduk nge’jogrok..) dalam proses belajar masak.

Bila anak kita berbuat kesalahan biarlah, yang penting ada pembelajaran sebelum anak gadis kita masuk pada jenjang pernikahan. Saya melihat budaya ini kurang di masyarakat Indonesia, apalagi di perkotaan, yang ada adalah makanan fast food ala Mc Donald dan budaya membeli makanan untuk lauk siang dan malam hari.

Read More..

Filosofi Air Dalam Teko


Apakah mungkin terjadi, jika di dalam sebuah teko yang berisi air teh, tiba-tiba pada saat dituang berubah menjadi kopi ?, atau apakah mungkin jika air yang ada dalam teko kotor, maka pada saat dituang air itu berubah menjadi bersih ?, pasti akan tetap kotor dan tidak mungkin menjadi bersih, artinya apa yang ada di dalam teko akan pasti sama dengan yang keluar di mulut teko.

Demikian juga halnya dengan interaksi sehari-hari (yang menggunakan Ucapan dan Sikap dalam menyampaikan keinginan). Kita biasa mengatakan “Jaga Mulut Kamu”, yang sebenarnya itu adalah salah kaprah. Mulut tidak bisa dijaga karena ia berada di bawah perintah, makanya ia boleh berkata : ”Jangan salahkan saya dong, saya hanya menjalankan perintah”. Sama halnya dengan mulut teko, juga tidak mau disalahkan karena mengeluarkan air kotor, “Habis, air yang di dalam tekonya kotor”, katanya.

Tentu kita tidak bisa menyalahkan bahwa orang yang sedang marah mengeluarkan kata-kata kasar, membentak, mata melotot dan menggabrak meja, bahkan mungkin semua nama binatang di Ragunan meluncur dari mulutnya, karena itulah refleksi dari Suasana Hati yang sedang dirasakannya.

Suasana Hati, wilayah inilah yang harus dikontrol, karena di sinilah pusat pengendalian terhadap ucapan dan sikap kita dalam berkomunikasi. Kita tentu memilih kata-kata yang menyenangkan pada saat suasana hati kita dalam keadaan senang, tapi kita tidak mungkin berucap dan bersikap menyenangkan pada saat kita kesal.

Seorang pemain sinetron tidak bisa bersikap dan mengucapkan kata-kata yang mencerminkan kesedihan, karena pada saat itu suasana hatinya masih riang gembira. Selama suasana hatinya masih diliputi kegembiraan maka take dan cut akan terus meluncur dari mulut sang sutradara.

Suasana Hati. Hati yang mana ?, Hati yang penyakitnya Hevatitis A, Hevatitis B ?, yang letaknya antara rongga dada dan rongga perut ?. Tentu tidak. Itu namanya Lever. Lalu hati yang mana ?, dan di mana letaknya di tubuh kita manusia, yaitu hati yang penyakitnya ria, iri, dengki, sombong ?.

Bahasa ”Suasana Hati” adalah bahasa awam, dan karena yang dimaksudkan dengan ”Hati” ini adalah salah satu bagian dari otak kita , maka mungkin istilah yang lebih tepat adalah ”Warna Pikiran”.

Salah satu syarat keberhasilan komunikasi adalah Warna Pikiran dari pihak yang melakukan komunikasi tersebut dalam keadaan jernih dan tidak diliputi oleh pikiran yang negatif seperti kesal, angkuh, prasangka buruk, melecehkan, dan sebagainya, seperti jangan memanggil dan menasihati anak buah pada saat suasana hati Anda marah dan kesal terhadapnya, karena tujuan Anda untk menyadarkannya tidak akan tercapai. Yang tercapai adalah bahwa Anda menjadi plong karena sudah memuntahkan kemarahan Anda kepadanya.

Jadi, pesan yang ingin disampaikan oleh Filosofi Air Dalam Teko ini adalah bersihkan air di dalam teko, baru dituang, atau jernihkan suasana hati, baru ngomong.

Read More..

Tabu, Menyebarluaskan Aib Suami


Percakapan yang memusingkan, membuat hati Nisa geram. ”Rasanya kesal, ingin pergi dan melarikan diri dan tidak mau berjumpa lagi dengan mereka semua, kawan-kawan yang hanya suka arisan dengan dalih pengajian, membosankan, bukan menambah iman malah menambah persoalan,” geram Nisa dalam hati.

Suara-suara yang berisik yang semakin sering terdengar membuat Nisa geram, pusing dan kesal. Bahkan terkadang percakapan itu dilanjutkan dengan dering telepon, sms yang masuk dan ting tang ting tung bunyi blackberry, membahas kelanjutan percakapan yang sama dan hal ini semakin membuat Nisa semakin menderita.

“Sudah Nisa, cari saja suami yang lain, apakah kamu tidak melihat banyak lelaki yang sekarang ingin punya istri baik-baik, solehah, pakai kerudung kayak kamu..” sergah Rani dengan sangat semangat. “Kamu tuh masih sangat cantik Nisaa.., dengan suami yang kerjanya gak jelas, sakit-sakitan pula, apalagi sih yang kamu cari, suami bukannya menguntungkan malah menyusahkan istri,” bu Aisyah yang berwajah manis walau sudah mulai berumur menegaskan kembali pernyataan kawan-kawan Nisa dipengajian Al Hidayah tersebut.

Serentak masalah Nisa menjadi masalah orang banyak. Dengan wajah dan suara penuh simpati dari sepuluh anggota pengajian yang rutin Nisa datangi setiap minggu, bergantian memberikan saran dan banyak sekali masukan yang intinya satu, tinggalkan sang suami dan cari yang lain. Memangnya mudah apa mencari suami baru, kok rasanya seperti mengganti sepatu baru.

Lagipula Nisa ingat, dahulu Nisa lah yang dicari, bukan sang suami yang dipilih, namun suaminya yang sekarang entah mengapa menjadi sering sakit-sakitan, murung dan emosi tinggi terutama ketika gejala PHK menghujam tempat sang suami bekerja. Hal ini membuat Nisa menjadi semakin tidak bahagia dengan rumah tangga yang baru diarungi selama setahun setengah.

Awalnya Nisa hanya bercerita kepada salah seorang kawannya saja. Hal ini dikarenakan sang ustadz dipengajian berganti-ganti maka tidak mungkin menceritakan masalah pribadi kepada sang ustadz.

Namun karena kawannya bingung musti menjawab apa kepada Nisa dan Nisa pun sering menangis di hadapan kawannya, maka sang kawan membawa masalah Nisa kepada kawan-kawannya yang lain, yang sayangnya solusi berdatangan dengan penuh perhatian, yang semuanya berlandaskan pada emosi dan pemikiran saja .

Bahkan dalam menjawab masalah Nisa seorang ustadz pun tidak memakai Al Quran dan Al Hadist dan semuanya merasa solusinya yang paling benar.

Pertanyaannya sekarang haruskah Nisa menceritakan permasalahannya kepada kawan yang tidak paham agama dan haruskah kondisi suaminya diceritakan pada orang lain. Bukankah suami baik atau buruk merupakan pakaian kita, yang harus kita jaga aibnya dan kita tutupi.

“..isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah [2] : 187)

Betapa akan tidak nyamannya Nisa bila kondisi keluarganya nantiya sudah membaik dimana suaminya sudah mendapatkan pekerjaan lain yang mungkin lebih baik serta kondisi keimanan sang suami sudah membaik, sehingga lebih mampu mengendalikan diri dan emosi serta suasana keluarganya sudah nyaman namun semua kawan-kawannya masih memandang suaminya Nisa dengan negatif. Dan yang lebih parah lagi bila Nisa mengikuti saran kawan-kawannya yang menganjurkan Nisa untuk mencari suami yang lain yang lebih baik.

“..boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

Sebaiknya memang semua permasalahan antara suami dan istri itu diketahui dan diselesaikan berdua saja atau dengan mencari orang terdekat saja yang bisa dipercaya dari kalangan keluarga dan memiliki pemahaman dan pondasi agama yang kuat.

Bukankah masalah memang ada untuk diselesaikan dalam rangka menguji keimanan, bukan untuk sekedar disebarluaskan. Wallahu'alam.


Read More..