Kamis, 09 Juni 2011

Istri Salehah yang Senantiasa Bersyukur

Sejarah Nabi Ibrahim sewaktu baginda menziarahi menantunya. Pada waktu itu, puteranya, Nabi Ismail tidak di rumah sedangkan isterinya belum pernah bertemu bapak mertuanya, yaitu Nabi Ibrahim. Setelah sampai di rumah anaknya itu, terjadilah dialog antara Nabi Ibrahim dan menantunya.

Nabi Ibrahim : Siapakah kamu?
Menantu : Aku isteri Ismail.
Nabi Ibrahim : Di manakah suamimu, Ismail?
Menantu : Dia pergi berburu.
Nabi Ibrahim : Bagaimanakah keadaan hidupmu sekeluarga?
Menantu : Oh, kami semua dalam kesempitan dan (mengeluh) tidak pernah senang dan santai.
Nabi Ibrahim : Baiklah! Jika suamimu pulang, sampaikan salamku padanya. Katakan padanya, tukar tiang pintu rumahnya (sebagai kiasan supaya menceraikan istrinya).
Menantu : Ya, baiklah.

Setelah Nabi Ismail pulang dari berburu, isterinya terus menceritakan tentang orang tua yang telah singgah di rumah mereka.
Nabi Ismail : Apakah ada yang ditanya oleh orang tua itu?
Isteri : Dia bertanya tentang keadaan hidup kita.
Nabi Ismail : Apa jawabanmu?
Isteri : Aku ceritakan kita ini orang yang susah. Hidup kita ini selalu dalam kesempitan, tidak pernah senang.
Nabi Ismail : Adakah dia berpesan apa-apa?
Isteri : Ya ada. Dia berpesan supaya aku menyampaikan salam kepadamu serta meminta kamu menukar tiang pintu rumahmu.
Nabi Ismail : Sebenarnya dia itu ayahku. Dia menyuruh kita berpisah. Sekarang kembalilah kau kepada keluargamu.

Ismail pun menceraikan isterinya yang suka menggerutu, tidak bertimbang rasa serta tidak bersyukur kepada takdir Allah S.W.T. Sanggup pula menceritakan rahasia rumah tangga kepada orang luar.

Tidak lama sesudah itu, Nabi Ismail kawin lagi. Setelah sekian lama, Nabi Ibrahim datang lagi ke Makkah dengan tujuan menziarahi anak dan menantunya. Terjadi lagi pertemuan antara mertua dan menantu yang saling tidak mengenali.
Nabi Ibrahim : Dimana suamimu?
Menantu : Dia tidak dirumah. Dia sedang berburu.
Nabi Ibrahim : Bagaimana keadaan hidupmu sekeluarga? Mudah-mudahan dalam kesenangan?
Menantu : Syukurlah kepada Tuhan, kami semua dalam keadaan sejahtera, tiada kekurangan.
Nabi Ibrahim : Baguslah kalau begitu.
Menantu : Silakan duduk sebentar. Boleh saya hidangkan sedikit makanan.
Nabi Ibrahim : Apa pula yang ingin kamu hidangkan?
Menantu : Ada sedikit daging, tunggulah saya sediakan minuman dahulu.
Nabi Ibrahim : (Berdoa) Ya Allah! Ya Tuhanku!Berkatilah mereka dalam makan minum mereka. (Berdasarkan peristiwa ini, Rasulullah beranggapan keadaan mewah negeri Makkah adalah berkat doa Nabi Ibrahim).
Nabi Ibrahim : Baiklah, nanti apabila suamimu pulang, sampai- kan salamku kepadanya. Suruhlah dia menetapkan tiang pintu rumahnya (sebagai kiasan untuk melanggengkan isteri Nabi Ismail).

Setelah Nabi Ismail pulang dari berburu, seperti biasa dia bertanya sekiranya siapa yang datang mencarinya.
Nabi Ismail : Ada sesiapa yang datang sewaktu aku tidak di rumah?
Isteri : Ya, ada. Seorang tua yang baik rupanya dan perwatakannya sepertimu.
Nabi Ismail : Apa katanya?
Isteri : Dia bertanya tentang keadaan hidup kita.
Nabi Ismail : Apa jawabanmu?
Isteri : Aku nyatakan kepadanya hidup kita dalam keadaan baik, tidak kekurangan apapun, Aku ajak juga dia makan dan minum.
Nabi Ismail : Adakah dia berpesan apa-apa?
Isteri : Ada, dia berkirim salam buatmu dan menyuruh kamu melanggengkan tiang pintu rumahmu.
Nabi Ismail : Oh, begitu. Sebenarnya dialah ayahku. Tiang pintu yang dimaksudkannya itu ialah dirimu yang dimintanya untuk aku langgengkan.
Isteri : Alhamdulillah, syukur.

Read More..

Ketika Bunda Harus Memilih!


Saat seorang bunda
berkiprah di dunia kerja
Misi suci yang diembannya.

Semua karya dan manfaat dunia kerja
Hendaknya sebanding dengan pengorbanan
Meninggalkan ananda.

Betapa galau hati seorang bunda
Tatkala tuntutan dunia kerja mulai tak searah
Dengan bisikan nurani suci.

Saat tangan harus melakoni
Hal yang bertentangan dengan bisikan hati
Nurani terkebiri.

Maka dimulailah jihad itu
Dengan ucapan “Bismillah”
Sang bunda membulatkan tekad
Stelan jas kantor kini telah berganti
Dengan kebaya Muslimah model terkini
Rekan dan sejawat telah berganti
Dengan ahli bordir, jahit dan desainer bergengsi.

Ternyata dengan beristiqamah di jalan-Nya
Tuhan membukakan jalan
Seorang bunda pekerja telah menjelma
Menjadi seorang bunda pengusaha
Dalam keramahan surga dunia
“Baiti Jannati”

SAHABATKU menumpahkan kekesalan hatinya.

“Bayangkan! Dengan kedua tanganku ini, aku telah menandatangani hal-hal yang bertentangan dengan nuraniku, dan semuanya demi mempertahankan karir dan jabatan. Sungguh bagai mendapat himpitan berat di dada, aku bagai terbelah dua. Sebagian diriku mengatakan tidak! Aku tidak akan larut tercebur pada arus yang tidak sesuai dengan jalan-Nya. Tetapi sebagian diriku lagi berkata, 15 tahun lebih meniti karir akankah semudah itu sirna?”

Mendengarkan keluh kesahnya, sejujurnya aku turut prihatin. Aku dapat membayangkan perjuangan batin yang dialami sahabatku.

Hari-harinya selama ini dilalui sebagai seorang wanita karir yang mengabdikan diri pada kepentingan pekerjaan dan kepentingan sang pemilik modal. Sahabat karibku ini mempunyai tekad yang membara. Selama ini pilihan yang berat sebagai seorang wanita karir profesional telah dijalaninya demi aktualisasi diri dan memanfaatkan ilmu yang telah dituntutnya.

Namun sejak berganti kepemilikan di perusahaan tempatnya bekerja, tumbuh budaya baru yang praktik manajemennya berlawanan dengan bisikan nurani. Peraturan yang jelas dan selama ini ditegakkan dengan teguh, harus dianulir dan dipelintir sedemikian rupa demi keuntungan si pemilik modal.

Sahabatku sebagai orang kepercayaan harus mengesahkan langsung melalui goresan tanda tangannya. Ia dikondisikan untuk menjalankan praktik-praktik yang bertentangan dengan hati nuraninya. Untuk melawan, ia sungguh tak kuasa. Dirinya bagaikan sebongkah tanah yang melawan air bah yang melanda.

Kini dilema hidup sebagai ibu yang membina karir semakin meruncing. Kalau selama ini ia masih bertahan karena meniatkan kerja sebagai salah satu sarananya dalam beribadah, namun niat itu kini tidak lagi menemukan pembenaran. Ia berperang dengan hati nuraninya.

Hari-hari penuh munajat dan shalat istikharah dilaluinya. Namun kelihatannya belum berhasil tuntas menjawab kemelut di dalam hati. Hingga untuk ber-khalwat dan mengadukan ihwal dirinya pada Sang Khalik, sahabatku bertekad untuk melaksanakan umrah. Ia begitu merindukan hari-hari penuh kemesraan berkomunikasi dengan-Nya, ketika antara dirinya dan rumah Allah tiada secarik tabir pun yang menghalangi.

Sahabatku bercerita bahwa kekhusyukannya berumrah semakin terasa kental auranya ketika bulan Ramadhan tiba. Ia berkesempatan untuk lebih banyak lagi merenung dan meng-hisab kembali peran dirinya dalam kehidupan.

Penggodogan Ramadhan melalui puasa, shalat tarawih, muhasabah, dan i’tikaf di tengah keheningan malam, telah membukakan pintu hati nuraninya. Lima belas tahun karir yang dilalui dan dipertahankannya selama ini, menjadi tak berarti apa-apa bila dibanding tekanan batin yang kini diterimanya. Perlawatannya ke tanah suci begitu mencerahkan. Hatinya kini terbuka terang benderang dengan sinaran kasih-Nya yang tak pernah pupus pada hamba-Nya yang ridha.

Sekembalinya dari tanah suci dengan bertekad kembali kepada fitrah, sahabatku membulatkan tekadnya dan mengajukan permohonan pensiun dini. Ia yakin bila satu pintu jalan rezeki harus ditutup karena semangat beristiqamah untuk berjalan selalu di jalan-Nya, maka pasti akan ada pintu lain yang terbuka.

Begitulah, ia mulai merintis jalur karir yang sama sekali berbeda. Membangun home industry butik Muslimah langsung di kepermaian rumahnya. Ia tak gentar meski harus berganti posisi, dari seorang eksekutif yang penuh jaminan gaji bulanan, belum lagi bonus-bonus serta insentif rutin, menjadi seorang pengusaha yang harus rela berinvestasi untuk suatu hasil yang tidak segera langsung dapat dinikmati. Apalagi bila dia kembali mengingat nawaitu awal membangun bisnis mulia ini. Selain mengembangkan usaha yang lebih sesuai dengan nurani diri, juga berniat untuk menawarkan lapangan pekerjaan, yang insya Allah dapat turut mengurangi jumlah angka-angka kaum pengangguran.

Saat Idul Fitri tiba, sahabatku sungguh merasa dirinya seperti dilahirkan kembali. Ia berhasil mengambil suatu keputusan berat untuk menanggalkan karir yang telah dirintisnya selama 15 tahun. Karir yang selama ini menggembleng dirinya menjadi seorang wanita karir yang profesional.

Kemarin aku bertemu kembali dengan sahabatku. Kutemukan aura yang berbeda pada dirinya. Wajahnya cerah dan bersinar. Di rumahnya telah berdiri sebuah butik Muslimah yang berhasil memberikan lahan pekerjaan pada lingkungan sekitarnya.

Dari rumah, sambil mendidik langsung si buah hati, ia mengendalikan bisnis keluarga, yang prospeknya amat menjanjikan. Malaysia dan Brunei Darussalam hanyalah sebagian dari sasaran ekspor dari hasil karya butiknya. Diam-diam sahabatku telah menjelma dari seorang pegawai yang dipaksa untuk mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya, menjadi seorang penyedia lapangan pekerjaan yang sekaligus berkontribusi terhadap devisa negara melalui produk ekspornya.

Ia berbisik, “Kemarin, ketika aku bertemu dengan bekas kolegaku yang masih berkutat sebagai wanita karir profesional, hampir saja aku merasa minder dan malu karena posisi baruku sebagai ibu rumah tangga. Namun aku segera tersadar, kujabat tangannya dan kukatakan padanya, ‘Perkenalkan, Rini yang baru, yang telah kembali pada fitrahnya, sebagai bunda yang profesional.’”

“Kau tak dapat membayangkan,” tambahnya, “betapa damainya hati ini menghadapi Idul Fitri dalam keadaan kembali pada fitrah-Nya.”

Ternyata, seiring dengan hari kemenangan, sahabatku telah terlahir kembali dan menemukan jati dirinya.*

Amelia Naim, penulis buku-buku parenting. Artikel diambil dari Majalah Hidayatullah


Read More..

Jangan Umbar Urusan Ranjangmu pada Orang Lain!


HARI itu, Arif Budiman (bukan nama sebenarnya) telah mulai masuk kantor setelah lebih dari seminggu cuti karena telah mengakhiri masa lajang dan menikah dengan gadis pilihannya.

Baginya, masuk kantor pertama kali setelah pernikahan, ibarat menjadi mahasiswa baru yang mendapat perpeloncoan. Ia mengaku heran, mengapa hari itu semua ingin saja mau tahu urusan ranjangnya.

“Hei, gimana malam pertamanya? Seru gak?,” demikian ujar Agus, salah satu teman bagian pemasaran.

“Bagi-bagi dong, ceritanya, “ tambah teman lainnya.

Di saat istirahat, rupanya mereka semua ngerumpi seolah ingin melanjutkan cerita ranjang itu. Bahkan, tak jarang, sahabat yang telah lama menikah, ikut membagi-bagi cerita yang disebutnya ‘tips memuaskan istri’.

Ini hanya secuil kasus yang terjadi di masyarakat. Selama, tiga kali penulis pindah kantor, hal-hal seperti kerap terjadi, seolah bukan masalah serius.

Tak hanya kalangan pria, kalangan wanita juga tak kalah hebatnya. Jika sudah bertemu dan ngerumpi, mereka juga saling bercerita urusan ranjangnya pada teman-teman yang lain.

Kadangkala, atas nama hubungan pertemanan dan kedekatan, seseorang dengan tenangnya menceritakan kehidupan rumah tangganya pada oranglain, termasuk urusan di atas tempat tidur.

Padahal dalam Islam, Allah mencela perbuatan seperti ini. Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam Kitabnya yang berjudul, "Al-Halal Wal Haram Fil Islam” mengutip bahasan ini.

Dalam Islam, di antara rahasia yang harus dijaga para suami dan istri selain harta adalah menceritakan urusan ranjang suami-istri kepada orang lain. Karena itu, ia tidak boleh menjadi pembicaraan di forum, atau obrolan malam di tempat-tempat berkumpul bersama, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam sebuah hadits dikatakan,

“Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di hari kiamat nanti adalah suami yang memberitahukan kepada istrinya dan istrinya memberitahukan kepada suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya itu.” (HR. Muslim dan Abu Daud).

Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

"Termasuk orang yang paling jelek di sisi Allah kedudukannya pada hari kiamat yaitu lelaki yang menggauli istrinya dan istrinya menggaulinya, kemudian lelaki itu menyebarkan rahasianya." (HR. Muslim)

Imam Nawawi menjelaskan hadits ini dengan mengatakan, bahwa dalam hadits ini diharamkan seorang suami menyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya dari perkara jima’. Juga diharamkan menyebutkan perinciannya , serta apa yang terjadi pada istrinya baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang lain”.

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. shalat bersama kami. Setelah salam, beliau membalikkan badannya ke arah kami lalu bersabda, “tetaplah berada di tempat duduk kalian masing-masing, adakah di antara kalian orang yang bila mendatangi istrinya menutup pintu dan gorden, kemudian keluar dan menceritakan kepada orang lain dan mengatakan, “Aku telah melakukan begini dan begitu dengan istriku, dan melakukan ini dan itu bersamanya?” ‘mereka semua terdiam. Kemudian beliau menghadap ke arah kaum perempuan dan bersabda, “Adakah di antara kalian yang menceritakannya?” Maka berdirilah seorang gadis berdada montok dengan salah satu lututnya dan mendongak supaya dapat dilihat Rasulullah saw. dan didengar perkataannya. Ia berkata, “Benar, demi Allah, mereka membicarakannya.” Maka beliau saw. bersabda, “Tahukah kalian apa perumpamaan orang yang melakukan itu adalah seperti halnya setan laki-laki dan setan perempuan. Salah seorang di antaranya bertemu pasangannya itu di sebuah lorong, kemudian ia melampiaskan hajadnya kepadanya dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Ahmad, abu Daud, dan Bazzar).

Perumpamaan Nabi yang keras ini seharusnya menjadi peringatan pada kita semua dalam urusan rahasia ranjang kita.

Berbeda dengan agama lain, Islam sangat menjaga pernikahan kaum Muslim. Ikatan pernikahan kaum Muslim diibaratkan sebuah perjanjian yang kuat. Sehingga antara keduanya memiliki perjanjian kuat (al–mlitsaq al-ghalizha) yang tak boleh dikhianati secara seenaknya.

Karenanya, Allah berfirman;

“Dan mereka ( istri istrimu ) telah mengambil darimu perjanjian yang kuat.“ [an Nisa:21]

Wahai para suami dan para istri, sesungguhnya hubungan antara engkau dan istrimu adalah hubungan yang kuat dan suci. Hargailah kesucian itu dengan cara menjaga rahasianya!*

AF.I. Maulana & Binti Djazuli. Penulis Suami-istri, dengan empat orang anak


Read More..

Rahasia Pelipur Lara

ADALAH Panglima Besar Nuruddin Mahmud al-Zinki (sebagian menyebutnya Zanki) yang berada di Damaskus. Saat itu sedang berkecamuk Perang Salib. Mendengar Tentara Salib telah masuk ke pesisir Mesir dan berhasil mengepung kaum Muslimin di kota Dumyat, Mesir, hati Nuruddin merasa gundah dan gelisah. Senyumnya yang kerapkali menghiasi wajahnyapun terlihat sirna. Imam Masjid Omawi merasa iba dan turut sedih melihatnya. Imam Masjid tersebut ingin memberikan pelipur lara untuk menghibur beliau agar dapat tersenyum.

Ba’da shalat, Imam menyampaikan dalam halaqah (pengajian) yang biasa dihadiri Nuruddin. Dibacakanlah sebuah hadits Rasul saw, yang setiap orang mendengar hadits tersebut pasti tersenyum. Ketika semua orang tersenyum mendengar hadits itu, Nuruddin Zinki masih belum bisa tersenyum. Dengan keheranan Imam bertanya kepada Nuruddin, ”Mengapa Paduka tidak tersenyum, saat semua orang yang mendengar hadits tersebut tersenyum?”

Nurudin menjawab,”Saya malu kepada Allah melihat saya tersenyum, sedangkan kaum Muslimin di Dumyath masih terkepung oleh Tentara Salib!”

Setiap malam, Nuruddin Mahmud melakukan shalat, bersujud dan berdoa sebanyak-banyaknya sambil menangis, memohon kepada Allah swt agar segera membebaskan kaum Muslimin yang terkepung di Dumyat.

Beberapa hari kemudian, saat Nuruddin berangkat ke mesjid Omawi untuk melakukan shalat subuh, Imam masjid mencegat nya, seraya mengatakan kepadanya.

”Paduka, saya bermimpi telah bertemu dengan Baginda Rasulullah saw dan meminta kepada saya untuk menyampaikan kabar gembira kepada Paduka bahwa Allah swt telah membebaskan kaum Muslimin di Dimyath. Lalu saya tanyakan kepada Rasulullah saw (dalam mimpi itu), ”Wahai Baginda Rasulullah, apa tandanya agar Nuruddin dapat mempercayai berita gembira ini dariku?”

Rasulullah saw (dalam mimpi itu menjawab); “Katakan padanya, masih ingatkah saat ia di Tal Harem, ketika turun dari kudanya, melakukan shalat, bersujud, berdoa sambil menciumkan wajahnya di atas tanah, seraya mengatakan: ”Ya Allah tolonglah agama-Mu ini, tolonglah tentara-tentaramu dan jangan tolong Nuruddin Mahmud yang hina ini, apalah artinya seorang Nuruddin hingga Engkau tolong.”

Benar, memang hal itu yang dilakukan dan diucapkan Panglima Nuruddin Mahmud saat di Tal Harem, ketika beliau dan tentaranya akan berhadapan dengan tentara Salib, saat itu ia menyendiri berdoa. Tanda dan bukti itu dibenarkan oleh Nuruddin Mahmud karena hanya ia sendiri yang tahu saat bermunajat dengan Tuhannya, sehingga iapun percaya bahwa Dumyath telah dapat dibebaskan dari kepungan.

Beliau terharu, terkesima, menangis sebagai ungkapan syukur, dan kemudian ia telah dapat tersenyum lagi.

Penawar Hati

Tak pelak lagi bahwa shalat, sujud untuk mengadu dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta merupakan penawar hati yang luka dan solusi aneka ragam duka lara, tentunya dengan diiringi keikhlasan dan tawakkal kepada-Nya pada setiap usaha yang diridhai-Nya.

Firman Allah swt: ”Dan Kami sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat).” (QS: Al-Hijr: 15/97).

Ayat di atas, selain sebagai pelipur lara yang menghibur Nabi saw, karena kesedihannya dan terasa sesak dadanya mendengar ejekan, ulah dan kesombongan kaum musyrikin kala itu. Ayat di atas juga memberikan solusi dan kiat untuk menghilangkan kesedihan dan duka tsb, yaitu dengan cara bersujud (shalat) disertai memperbanyak tasbih, tahmid dan doa untuk kebaikan diri, keluarga dan umat.

Tuntunan bagi Nabi saw, berarti juga tuntunan bagi umatnya. Banyak sekali hal yang dapat membawa kepada kesedihan, seperti musibah yang menimpa diri, saudara, teman, atau merajalelanya kezaliman, kemungkaran, ….… yang terkadang seorang tidak mampu untuk mencegah atau menghilangkannya dengan kekuatan tangannya.

Hamba yang dekat dan dicintai Allah swt adalah pada saat seorang hamba bersujud, sebagaimana Rasul saw bersabda:”Hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah saat hamba-Nya bersujud, karenanya ikhlaskanlah dalam berdoa pada saat bersujud”.

Mudah-mudahan kita semula menjadikan shalat, sujud untuk mengadu dan berkomunikasi bukan dengan cara lain.*

Amiruddin Thamrin, kini tinggal di Damaskus-Suriah




Read More..