Rabu, 09 Maret 2011

Ayah Super Sibuk


“Ayah lagi sibuk”, “Ayah capek ”,” Jangan ganggu Ayah lagi kerja” begitulah jawaban-jawaban yang selalu diberikan Ayah kepada Alif (5 tahun), jika Alif mengajaknya bermain bola. Kini, Alif tidak pernah lagi mengajak ayahnya bermain bola, karena ayahnya selalu menolak,dan berakhir kekecewaan pada Alief. Alief kemudian memilih bermain Playstation di kamarnya. Sang Ayahpun bersyukur, Alief tak lagi mengganggunya…

Menyedihkan, tapi nyata. Saya yakin, banyak Alif Alif lain,anak-anak yang memiliki ayah super sibuk, yang tidak lagi memberikan waktu untuk anaknya. Dengan alasan ‘Saya bekerja mencari uang’, para ayah terlupa kalau anak butuh perhatian ayah, anak butuh berkomunikasi dengan ayah, anak butuh kasih sayang seorang ayah…

Saya merasa beruntung dan bersyukur, sebab ayah saya masih memberikan waktunya untuk kami, empat anaknya. Maghrib adalah waktu spesial kami bersama ayah. Ketika azan maghrib berkumandang, televisi dimatikan, dan tidak ada aktifitas lain kecuali sholat berjamaah bersama ayah. Seusai sholat, kami anak-anaknya bergantian maju mencium tangan ayah, dan ayah akan berdoa untuk kami. Doa yang tulus terucap dari hatinya, harapan seorang ayah kepada anaknya…” Ayah doakan, kamu jadi anak solehah, pintar, berbakti kepada Ayah Ibu, memperoleh kebahagiaan, di dunia dan di akhirat nanti...” Doa yang begitu indah, doa yang terus melekat kuat di hati ini…

Kemudian ayah akan memberikan kultum kepada kami. Berisi nasihat seperti jangan melalaikan sholat yang lima waktu, pentingnya saling menyayangi diantara saudara, atau kadang berisi ungkapan rasa syukur ketika keluarga kami diberi rizki lebih oleh Allah.

Usai kultum kami duduk di meja makan untuk belajar. Mengerjakan tugas sekolah, dibimbing oleh ayah. Ayah akan memeriksa tugas sekolah kami, ia juga mengajarkan kami materi pelajaran selanjutnya. Untuk memastikan kami paham pelajaran yang diajarkannya, tak lupa ayah memberi kami pe er yang akan diperiksanya esok hari sepulang kantor.

Kebersamaan bersama ayah yang paling membahagiakan adalah kala sore hari. Setelah cantik dan harum sehabis mandi, kami semua menanti ayah pulang kantor. Bila dari luar rumah terdengar suara derum motor, kami berlarian menghambur keluar, minta dibonceng ayah. Biasanya ayah dengan senanghatimembonceng kami mengelilingi kompleks rumah. Bergiliran tentunya, kamipun menanti giliran dibonceng ayahdengan hati riang.Kebahagiaan masa kecil, sungguh terasa indah bila dikenang…

Rasulullah Saw bersabda “Yang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan Aku adalah yang terbaik kepada keluargaku diantaramu.” (HR. Tirmidzi).

Mari kita tengok kehidupan Rasulullah saw sebagai seorang ayah… Rasulullah dikenal sebagai ayah yang penuh perhatian dan kasih sayang. Fathimah, putri Rasulullah dibesarkan oleh beliau dengan penuh kasih sayang. Rasulullah sangat bangga dengan putri kecilnya, beliau berkata “Siapa yang mengenal anak ini, maka dia telah mengenalnya, Siapa yang belum mengenal anak ini, maka ketahuilah dialah Fathimah putriku, Dia belahan jiwa, hati dan ruhku. Siapa menyakitinya berarti telah menyakitiku. Siapa menyakiti Aku dia telah menyakiti Allah. “

Perhatian Rasulullah tetap tercurah kepada anak-anaknya meskipun mereka telah dewasa. Ketika Rasulullah hendak berangkat Perang Badar, beliau berpesan kepada Usman bin Afan untuk tidak ikut berperang, Rasulullah meminta Usman menjaga istrinya, Ruqayyah (putri Rasulullah) yang sedang sakit. Ruqayyah akhirnya meninggal dunia. Ketika kembali dari Perang Badar, yang pertama kali beliau lakukan adalah mengunjungi pusara Ruqayyah bersama Fathimah.

Rasulullah bukan saja ayah teladan, beliau juga seorang kakek penyayang. Rasulullah selalu menunjukkan rasa cintanya kepada cucunya, Hasan dan Husein. Usamah bin Zaid menceritakan satu kisah teladan Rasulullah. Suatu hari dia pergi ke rumah Rasulullah, Rasulullah membuka pintu dan ia melihat sesuatu bergerak-gerak dibalik jubah panjang nabi,dan beliau bersusah payah memegangnya, Usamah kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang Engkau pegang itu?" Dengan wajah cerah Nabi membuka jubahnya dan terlihat kedua cucunya tertawa. Beliau mengatakan bahwa kedua cucunya terbiasa bermain bersamanya, dan berkata, “Inilah kedua putraku, putra anakku Fathimah.”

Para Ayah sering berkilah kalau mereka sangat sibuk, tapi bagaimana bila kita bandingkan dengan kesibukan Rasulullah?
Rasulullah Saw seorang pemimpin umat, penerima ribuan wahyu, mengajarkan sendiri setiap wahyu yang diterimanya, Rasulullah seorang komandan perang, 19 Perang besar dan puluhan ekspedisi militer dipimpinnya, Rasulullah imam setiap shalat di Masjid Nabawi, dan shalat tahjud pun tak pernah ditinggalkannya. Subhanallah!

Ayah.. masihkah kita katakan kita terlalu sibuk? Sementara Rasulullah telah memberikan teladan kepada kita bagamana beliau memberikan perhatiannya kepada keluarga di tengah kesibukannya yang luar biasa...

Memang benar Ayah…kita perlu uang. Namun, begitu banyak kebahagiaan lain yang bisa kita berikan kepada anak kita, bukan dengan uang.

Ayah… Anak-anak butuh sedikit waktu dari Ayah untuk menemani mereka bermain, untuk bercerita kepada mereka, untuk mendapat pelukan seorang ayah…

Ayah… anak-anak butuh cinta./Oleh Silvani


Read More..

Cinta Dalam Pernikahan


Saat kau goreskan luka dan kecewa biarlah
kutulis pada hamparan pasir dan
luka dan kecewa itu sirna
ditelan ombak kecintaanku pada-Nya

Saat kau beri aku bahagia izinkanlah
kuukir pada batu karang dan bila
ombak kehidupan garang menerjang
karang itu tetap kokoh
dalam naungan cinta-Nya

Dulu, ketika saya memutuskan untuk menikah, yang terbayang di benak saya adalah semua yang indah-indah. Betapa tidak, seumur hidup akan saya habiskan bersama orang yang saya cintai.

Berbunga-bungalah hati ini saat sang pujaan hati datang pada ayah bunda, bermaksud melamar, menjadikan saya sebagai istrinya. Dan hari pernikahan itupun tiba, sungguh hari terindah…

Bagaikan kisah dongeng “Cinderella”, hari itu sayalah si gadis jelita yang dinikahi sang pangeran tampan, akan diboyong menuju istananya and they lived happily ever after… begitulah akhir kisah dongeng "Cinderella".

Bagaimana dengansaya? Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, setelah melewati hari-hari bersamanya, ohh ternyata… tersadarlah saya, kalau saya dan suami sangat jauh berbeda.

Perbedaan itu bagaikan bumi dengan langit! Saya yang suka becerita, suami yang tidak suka mendengar cerita … Saya yang suka bertemu orang banyak, suami yang tidak suka keramaian… Saya yang sensitif, suami yang bicara ceplas-ceplos…

Hari demi hari berlalu, tahunpun berganti. Telah hampir sepuluh tahun kami kayuh biduk rumah tangga ini. Biduk rumah tangga yang penuh nuansa. Suka, tawa, bahagia, duka, dan lara ada di sana.

Batin ini kemudian bertanya… Setelah sepuluh tahun berlalu, masih adakah cinta tersisa? Kemana gerangan perginya getaran cinta itu? Yaa Allah… saya tak mau cinta itu hilang, jangan sampai cinta menjadi redup dan kemudian mati. Saya harus menghidupkan kembali cinta diantara kami…

Saya sadar, manusia tidak ada yang sempurna, begitu juga saya dengan segala ketidaksempurnaan saya. Sia-sia mencari pasangan yang sempurna, karena tak kan pernah ada, karena hanya Allahlah yang Maha Sempurna.

Setiap manusiapun unik dengan karakter yang dimilikinya. Ini membuktikan bahwa Allah Maha Kaya. Allah yang sanggup memberikan karakter yang berbeda-beda pada setiap hamba-Nya. Subhanallah…

Perbedaan yang ada bukanlah menjadi jarak yang memisahkan kami, melainkan untuk saling melengkapi. Seperti saling melengkapinya bumi dan langit.

Saya menikmati hidup berumah tangga dengan segala nuansanya. Berumah tangga adalah perjuangan. Saya harus pandai mengelola hati, saat hati ini luka dan kecewa, saya maafkan suami. Karena saya melihat kesungguhannya memperbaiki kesalahannya. Karena luka bagaikan beban berat di punggung kita.

Maukah saya berjalan dengan terus membawa beban berat di punggung? Dan tentang cinta… Cinta dalam rumah tangga ternyata lebih luas, bukanlah cinta sesaat yang menggetarkan… jauh lebih indah, lebih dewasa, berwujud rasa kasih sayang kepada pasangan kita.

Dan kutemukan kembali cinta itu, tak pernah hilang, semakin berkilauan…

Saat saya menatapnya, tertidur dalam lelahnya… Dialah lelaki yang telah bekerja keras untuk saya, rela bekerja siang malam, berpeluh keringat…Seumur hidupnya dihabiskan untuk bekerja.

Semua itu untuk saya! Menafkahi saya, menafkahi kedua anak kami. Satu tujuannya, membahagiakan kami. Dia teristimewa dipilihkan Allah untuk saya… Yaa Allah... segala puji dan syukur kupanjatkan kepada Engkau…

Duhai suamiku… Engkaulah Langit bagiku. Engkau senantiasa menaungiku, memberi kehangatan sang mentari, melindungi dengan awan putih nan lembut, mencurahkan air sejuk di kala dahaga, melukiskan semburat warna pelangi… Saat mentari tenggelam, kau beri aku rembulan dan taburan bintang, hanya untukku…

Duhai Suamiku… berpijaklah engkau kepadaku sebagai Bumimu, kan kuberi Engkau cinta, cinta yang tak mengenal lelah, untuk selamanya.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S Ar Rum: 2)

Wallahu’alam bishshowaab.

Oleh Silvani/Bangkok, 28 Februari 2011.

Read More..

Perilaku "mbak" yang patut ditiru


Hari ahad lalu saya sekeluarga berkesempatan menghadiri undangan masjid dekat rumah yang tengah mengadakan launching sebuah program zakat bekerjasama dengan Rumah Zakat Indonesia.

Kegiatan launching tersebut ditutup dengan ceramah yang disampaikan seorang ulama ternama di kota Bogor. Beliau adalah orang yang sangat menguasai dan sering berbicara mengenai zakat. Tentu ada banyak pelajaran berharga yang dapat diambil dari tuturan beliau. Salah satunya adalah ketika sang ulama berbagi cerita saat ia berceramah seputar zakat di sebuah daerah.

Sang ulama mengisahkan di tempat tersebut ada dua orang wanita yang tinggal serumah. Keduanya selalu menyisihkan sebagian harta yang dititipkan Allah pada mereka dengan cara berinfak. Tentu hal ini bukan suatu hal yang menarik untuk dibicarakan. Tetapi tunggu, ulama tersebut melanjutkan kisahnya. Siapakah kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu? Bagaimana kisah ini menjadi sebuah hal yang menarik perhatian yang hadir saat itu (khususnya saya)?

Ulama tersebut menyampaikan bahwa kedua wanita yang tinggal dalam satu atap itu bukanlah anak dan ibu atau kakak beradik, melainkan seorang majikan dan seorang pembantu (khadimatnya).

Tanpa diketahui oleh masing-masing, setiap menerima gaji, sang pembantu selalu menyisihkan rezeki yang diperoleh, demikian pula dengan sang majikan. Secara logika kita pastinya berfikir bahwa penghasilan sang majikan lebih besar dari khadimatnya.


Namun ternyata, besar harta yang disisihkan sang pembantu untuk berinfaq lebih besar dari infaq sang majikan. Padahal ia memiliki banyak anak yang harus dinafkahi dengan penghasilannya yang pas-pasan itu. Namun demikian, ternyata dengan kondisinya tersebut, ia berhasil menghantarkan anak-anaknya sekolah hingga perguruan tinggi.

Hmmm...apa yang terpikirkan oleh kita setelah mengetahui hal di atas? Mungkin ada yang merasa heran dan terselip tanya, bagaimana dengan gaji tak lebih dari 500 ribu bisa menghidupi sebuah keluarga bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang yang tinggi?

Tentu saja bagi orang beriman yang mengakui bahwa hanya Allah yang berkuasa memberi rezeki, tak kan pernah heran atau terlontar tanya seperti demikian. Karena sudah jelas tercantum firman-Nya dalam Al-Quran:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka, dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid: 18)

Demikianlah Allah telah menunjukkan salah satu contoh kekuasaan-Nya melalui kisah yang dituturkan sang ulama di atas sebagai sebuah pelajaran supaya menyandarkan sepenuhnya keyakinan pada Allah atas rezeki yang diberikan-Nya pada kita, disamping itu tidak perlu merasa khawatir untuk bersedekah atau menginfakkan sebagian rezeki yang Allah titipkan tersebut. Sungguh, perilaku pembantu itu adalah suatu hal yang patut ditiru.

Ada banyak cerita nyata yang senada dengan kisah tersebut dimana orang-orang yang dalam hitungan matematika kita berpenghasilan sangat minim dan diprediksikan tak kan sanggup memenuhi kebutuhan hidup, ternyata perkiraan tersebut tak dapat dibuktikan ketika orang-orang tersebut membelanjakan hartanya di jalan Allah. Akan selalu kita temukan kebenaran firman-Nya dalam kehidupan mereka.

Kembali pada kisah yang dituturkan sang ulama itu, kita pun dapat menemukan satu pelajaran lainnya, yakni untuk selalu menghormati sesama atau tidak meremehkan keadaan orang lain.

Berbeda keadaan atau kedudukan dalam penilaian manusia tak mengurangi nilai kemuliaan seseorang di hadapan Allah SWT, seperti kisah dua orang wanita sebagai majikan dan pembantu tersebut. Karena kemuliaan seseorang di hadapan Allah bukanlah ia yang kaya, tampan atau cantik, memiliki sederet gelar dan atribut lainnya melainkan hanya satu saja, yakni yang paling takwa.

“.... Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al Hujuraat [49]:13)./ oleh Ineu


Read More..

PERSEPSI SEORANG ANAK


Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.

Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika: "Apa yang kamu inginkan ?"
Dika hanya menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" Tanya saya.
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.
Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.
Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas.

Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya.
Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah.
Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit.
Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ....."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya :
"Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu".

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ...."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya.

Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ......",
Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahan nya.
Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, tapi perlu diingat bahwa orang tua juga tak luput dari kesalahan.
Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku".
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium.
Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum".
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari..

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku. ..."

Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus" Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku ..."

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan". ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik..
Diposkan oleh Serpihan Kecil Kembaraku di 20:18

Read More..