Senin, 23 November 2009

Berhenti Menjadi Pengemis


Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjagajaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, kuberi, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis baru lah aku berhenti dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian. Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah, tergantung persediaan.

Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih besar dari gajiku.
Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami samasama berteduh kehujanan di Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah.

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancangancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cumacuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?" "Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis.

Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu memintaminta lagi," katanya. Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya memintaminta.
Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gadogado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gadogado, seperti cobek, piring, gelas, meja dan lainlain. Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersamasama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gadogado, pikirku.

***
Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gadogado itu. Selain untuk mengisi perutnya dengan tetap membayar ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gadogado itu. Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gadogado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gadogado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab.
Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gadogado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti memintaminta.
Read More..

EKSPRESI KEJUJURAN


Pernahkah menatap orang terdekat ketika sedang tidur…….

Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang. Orang paling kejam didunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.

Perhatikanlah ayah Anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya…

Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya.
Orang inilah yang rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita berjalan lancar.

Sekarang, beralihlah…
Lihatlah ibunda Anda yang sedang tidur…
Kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu, kini kasar karena tempaan hidup yang keras.Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita…


Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata- mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.

Cobalah tatap wajah orang-orang tercinta itu…
Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya… Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakanlah energi cinta yang mengalir perlahan saat menatap wajah yang terlelap itu.
Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya
pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda.

Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalahpahaman kecil yang entah kenapa selalu saja nampak besar.
Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur.

Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya.

Tanpa kata, tanpa suara dia berkata…

“betapa lelahnya aku hari ini”.

Dan penyebab lelah itu?
Untuk siapa dia berlelah-lelah?
Tak lain adalah untuk kita.
Suami yang bekerja keras mencari nafkah, Istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, mengatur rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.

Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka saat mereka tertidur. Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua.

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka “orang-orang terkasih itu” tak lagi membuka matanya, selamanya…

Ya Allah ya Ghaffar…

Muliakanlah Ibu dan bapak kami…
Muliakanlah pula istri/suami dan anak-anak kami…
Muliakanlah kakak dan adik kami…kakak dan adik ipar kami…
Muliakanlah keponakan-keponakan kami…
Muliakanlah mereka dan kami di dunia dan akhiratMu…

Ya Allah ya Rahmaan…
Ijinkanlah kebersamaan yang telah kau berikan di dunia ini bersama mereka,
Engkau kekalkan di akhirat nanti…
Ijinkanlah kami masuk ke dalam Jannah-Mu kelak

“manusia yang biasa dan berharap menjadi sebaik-baik manusia di hadapan tuhannya”
#salman al muhandis
Read More..