Jumat, 11 November 2011

Akhwat (Dilarang) Pulang Malam


“Akhwat itu tidak baik pulang malam!”
Teguran tersebut tidak dapat begitu saja diterima oleh akhwat. Tuntutan kuliah, tugas, dan amanah seperti BEM dan organisasi lainnya yang belum terkondisikan, seringkali memposisikan mereka untuk pulang larut malam. Bahkan, saat ini, fenomena seorang akhwat yang pulang larut malam seolah menjadi hal yang biasa.

Tapi, percayalah bahwa sebenarnya dalam lubuk hati yang terdalam, para akhwat pun merasa tidak nyaman jika harus pulang malam. Ada beban mental menghadapi tanggapan dan pandangan masyarakat. Ada kecemasan akan pelanggaran kode etik tak tertulis mengenai bagaimana sikap dan perbuatan seorang “wanita baik-baik” di mata sosial yang menganut penuh prinsip budaya ketimuran.

Memang, kesemuanya itu hanyalah peraturan dan pandangan yang dibuat oleh manusia, bukan peraturan Al-Quran maupun hadis yang tak dapat dirubah. Akan tetapi kita ini hidup bermasyarakat, hidup dengan orang lain, tentunya harus menghormati peraturan yang ada. Dengan demikian kita dapat mencerminkan bahwa Islam juga sangat mempertimbangkan keutamaan muamalah. Dan dengan menghargai peraturan yang ada di masyarakat (tentu peraturan yang logis dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam), kita telah melakukan sebagian dari dakwah.

Mari membangun persepsi terlabih dahulu mengenai parameter kata malam. Drs. Moh. Rifa’i dalam bukunya yang berjudul “Risalah Tuntunan Sholat Lengkap”, khususnya bab salat sunnah tahajud, memaparkan pembagian malam menjadi tiga, yaitu:
Sepertiga malam pertama : pukul 19.00-22.00
Sepertiga malam kedua : pukul 22.00-01.00
Sepertiga malam ketiga : pukul 01.00-menjelang subuh

Dengan demikian, waktu malam terhitung sejak sekitar pukul 19.00. Akan tetapi sebagian aktivis terkadang membuat kebijakan tentang malam yang dimaksud, misalnya malam dimulai sejak maghrib, atau malam adalah lebih dari pukul 21.00. Pembuatan kebijakan tersebut sebenarnya sah-sah saja dengan syarat sang pembuat kebijakan memang mengetahui seluk beluk lingkup penerapannya sehingga menimbulkan kebaikan bagi sasaran. Yang jelas, waktu-waktu di atas pukul 21.00 adalah waktu yang sudah teramat malam bagi muslimah atau wanita untuk berada di luar rumah.

Kembali pada soal akhwat yang pulang larut malam. Sebenarnya, apakah penyebab akhwat dipandang tidak baik dan bahkan dilarang untuk pulang malam? Adakah dalil yang menyatakan bahwa akhwat dilarang pulang malam?

Akhwat dilarang untuk pulang malam pada dasarnya adalah untuk menghindari dua fitnah. Yang pertama adalah fitnah keamanan. Memang sudah diartikan secara klasik bahwa pada malam hari yang gelap, kriminalitas dan kejahatan akan banyak dilakukan, di mana pun tempatnya dan apa pun bentuknya. Selain itu, dalam QS. Al-Falaq ayat 1-3 ( Katakanlah: “aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari kejahatan malam apabila gelap gulita….”) disebutkan “kejahatan malam apabila gelap gulita”. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran pun telah mengisyaratkan bahwa pada malam hari ada banyak kejahatan dilakukan. Hal tersebut tentu akan menjadi ancaman berbahaya, khususnya bagi para akhwat yang tak dapat dipungkiri bahwa mayoritas tidak mampu melakukan pelindungan diri dari kejahatan.

Sedangkan fitnah yang kedua adalah fitnah khalwat dengan lain jenis. Pada kondisi tertentu, ketika akhwat tidak berani pulang sendirian pada malam hari, maka akan ada ikhwan yang merasa kasihan dan kemudian mengantarkannya. Semoga niatnya tercatat sebagai kebaikan. Namun, pulang larut malam bersama lawan jenis bukanlah sebuah tindakan yang bijak karena justru akan menimbulkan berbagai macam asumsi masyarakat, misalnya tentang “apa yang dilakukan oleh sepasang ikhwan dan akhwat sampai malam begini?”. Juga asumsi-asumsi lain yang nantinya berbuah fitnah.

Para ulama pun telah memberi isyarat bahwa malam hari itu banyak bertebaran fitnah sehingga lebih baik banyak berzikir di rumah dari pada berkeliaran di luar rumah.
Fitnah-fitnah yang ada (terutama yang sebenarnya bisa dicegah tapi timbul karena perbuatan sendiri) akan berpotensi menurunkan izzah (wibawa, harga diri, kemuliaan) seorang akhwat. Padahal, seorang akhwat dengan segala atribut kemuslimahannya harusnya memiliki dan mampu menjaga izzah serta menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak pulang larut malam adalah salah satu bentuk dakwah dengan keteladanan.

Memang, tidak ada dalil yang melarang akhwat pulang malam, tapi justru lebih dari itu, dalam sebuah hadis disebutkan, "Tidak halal bagi wanita Muslimah untuk bermusafir kecuali bersamanya mahromnya" (HR:Bukhori).

Pergi bersama mahromkah para akhwat yang pulang malam itu? Kebanyakan tidak. Dalam hadis tersebut bahkan wanita dilarang keluar rumah sama sekali. Namun, dalam menyikapi hadis ini, para ulama shalafussolih telah memberikan batasan-batasan yang sangat tegas bahwa muslimah diharamkan bepergian tanpa mahromnya kecuali dalam tiga hal, yaitu: untuk menyelamatkan akidahnya, menuntut ilmu, dan untuk hal-hal yang bersifat durori. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan dalam menanggapi larangan pulang malam.

Fenomena akhwat pulang malam memang seperti sulit dihindari jika alasannya tugas dan amanah. Apalagi bagi akhwat yang tinggal di kos-kosan atau kontrakan yang notabene tidak mendapat pengawasan intensif orang tua. Mereka, termasuk diri ini, akan lebih bebas untuk pulang larut malam.

Saya teringat nasehat seorang saudara yang mengingatkan ancaman fitnah di malam hari, namun saya meyakinkan bahwa saya akan baik-baik saja. Lantas, beliau mengondisikan saya untuk membayangkan jika orang tua kita mengetahui kita, putri kesayangannya, pulang larut malam. Akan ridakah mereka? Tentu tidak. Mereka akan sangat khawatir jika putrinya belum pulang ketika malam beranjak larut. Kita hanya akan menyiksa mereka dalam kecemasan. Lalu, jika orang tua pun tidak rida, bagaimana dengan Allah? Sementara “rida Allah bergantung pada rida orang tua, dan kemurkaan Allah bergantung pada kemurkaan orang tua” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim). Jika Allah tidak rida, berarti sia-sia saja apa yang telah dan akan kita lakukan.

Jika kita yakin bahwa dua fitnah yang dipaparkan di atas akan jauh dari kita, sehingga merasa saah saja pulang malam, jangan lupakan juga bahwa kita memiliki dan harus menjaga izzah sebagai muslimah. Selain itu, pertimbangkan pula keridaan orang tua atas apa yang kita lakukan, sebab rida Allah bergantung pada rida mereka.

Sebaiknya, kita lebih selektif lagi dalam mengikuti kegiatan yang selesai di malam hari. Apalagi jika kita pergi tanpa mahrom. Semoga pemikiran dengan bahasa sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita. Menjadi renungan bagi diri sendiri dan kita semua, akhwat yang terjaga izzahnya. Wallahoa’lam bishowab./Oleh Endang Sri Wahyuni


Read More..

Terbelenggu Pikiran Buruk


Terbelenggu dunia memang melelahkan. Tetapi, terbelenggu pikiran buruk sendiri juga melelahkan sekaligus menyesakkan. Sungguh menyiksa. Seperti hidup memakan kotoran sendiri. Pantaslah tubuh dan hati tak sehat. Begitu lemah dan tak banyak bergerak.

Ketika berfikir buruk tentang diri sendiri, maka hanya pesimis dan rendah diri yang terjadi. Merasa tak ada kesempatan dan jalan di setiap masalah. Putus asa.

"Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang kafir". (Q.S. Yusuf : 87).

Aku tersentak dengan ayat Allah ini. Membuatku berusaha membuang segala putus asa dari kemurahan dan kebaikan Allah.

Sesaat Kemudian aku berfikir buruk tentang yang lain. Tentang orang lain. Bahwa mereka bersikap sengaja menyakitiku. Merendahkan aku. Atau berfikir mereka membanciku. Marah padaku dengan sifatku.

Duhai, banyak lah pikiran buruk itu bermunculan. Seperti rumput di musim hujan. Hampir tak terkendali tumbuhnya. Membuat pikiranku yang sempit ini sesak oleh pemikiran yang buruk dan berlebihan.

Lalu pikiran buruk terhadap rencana dan kehendak Allah padaku. Merasa begitu berat dengan keadaan yang terjadi padaku. Merasa rencana Allah bukan terbaik untukku. Padahal aku tahu, Allah sesuai prasangaka hambaNya.

Aku pun mencoba berprasangka baik kepada Allah. bahwa semua masalah ini membawa hikmah. Namun, pikiran yang terlanjur kotor ini tak mampu menolak pikiran buruk yang baru.

Bahwa aku tak disayang Allah, sehingga aku mendapat masalah ini dan itu. Aku tak pantas disayang karena terlalu hina dan lemah iman. Aku kembali berputus asa dari rahmat Allah...

Bahkan, aku melakukan perbuatan setan dengan pikiranku. Yaitu membanding-bandingkan. Antara diriku dan orang lain. Membandingkan tubuh, rezeki dan kemampuan diri dengan orang lain.

Kenapa mereka lebih baik dariku. Mengapa aku yang kekurangan. Dan pertanyaan tak terima yang lain. Sungguh sangat menyiksa diri, hati dan pikiran. Tak ada manfaat. Malah mendatangkan rendah diri dan kufur nikmat.

Belum lagi ketika aku bersama orang yang lebih rendah ibadahnya. Aku akan berfikir aku lebih baik dari dia. Aku sholat, sedang dia tidak. Aku puasa dan dia sama sekali tidak. Aku tak berghibah sedang dia berghibah. Aku bisa membaca Al-Quran dan dia tidak. Dan masih banyak lagi perbandingan yang membuat aku merasa lebih dari orang lain.

Pikiran buruk itu telah menjadi pohon rimbun di pikiranku. Sulit tercabut. Kalau pun aku sadar, aku hanya menebang ranting-rantingnya saja. Tak sanggup menebang batang yang besar. Apalagi hingga ke akarnya. Jika pun sanggup. Aku sendiri pula yang menebar bibit pikiran buruk pada tanah fikirku. Sehingga tersemai kembali pikiran negatif ku tentang diriku, orang lain dan Allah.

Tanpa kusadari, pikiran buruk itu berbuah penyakit hati. Ya, berbagai macam penyakit hati. Keluh kesah, putus asa, kufur nikmat, iri, sombong, dan ujub. Aku bahkan tak merasakannya. Tak tahu telah parah penyakit hatiku. Setiap hari, aku memetik buah itu. Menikmatinya. Seakan tak berdosa dengan kelakuan diri.

Padahal sungguh Allah maha halus terhadap apa yang kita pikirkan dan kita rasakan, "Sesungguhnya Allah Maha halus Maha teliti". (Luqman : 16).

Meskipun hanya selintas saja. Hanya sekejap saja. Ketika aku berfikir aku lebih menjaga hijab dari saudara wanitaku, ujubku kambuh. Ketika aku berfikir wanita itu sungguh sempurna tubuhnya, tanpa sadar aku telah iri.

Ketika aku merasa lebih baik begini tanpa merubah keadaan diri yang buruk, aku sedang putus asa. Juga pikiran-pikiran lain yang membuahkan sombong, egois dan keluh kesah.

Maka aku harus bunuh pohon besar pikiran buruk yang ada di diriku. Sebelum pikiran buruk menghancurkan aku tanpa ampun. Membuatku menyesal kelak di hari perhitungan. Aku harus memotong ranting-rantingnya setiap hari, sampai ia gersang. Mematahkan setiap ada yang mulai tumbuh kembali.

Membuang ranting-ranting pikiran buruk sejauh-jauhnya. Kemudian meracuni pohon pikiran buruk dengan keyakinan kepada Allah, ikhlas, syukur, ilmu dan ibadah. Tentulah dibarengi dengan doa. Memohon pertolongan Allah. Percaya bahwa pertolongan Allah akan datang kepadaku.

"Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat". (Al-Baqarah : 214).

Semoga waktu ini, Ramadhan nan mulia, aku bisa menebang habis pohon pikiran buruk. Mencabut hingga ke akar-akarnya.

Kemudian secepatnya menanam pikiran positif dan semangat ibadah serta beramal di tanah pikiran. Agar aku terbebas dari pikiran buruk. Tak lagi terbelenggu pikiran buruk ku./Oleh Najmi Haniva



Read More..

Dia yang Melindungiku dan Menyakiti


ilustrasi
“Dia telah pergi, dia… sosok yang kucintai, dia yang melindungiku dan menamparku…menyakiti hatiku, orang pertama yang menamparku.”

Sebuah tulisan di Twitter membuat hati ikut terenyuh membacanya.

Rani, sahabat lama kami dari SMP 213, bertekad membina rumah tangga dari usia muda, dan harapannya terkabul dari kami berenam, Rani yang kemudian menikah dahulu, dengan lelaki bukan pujaannya, karena, “Pujaanku diambil kucing tetangga sebelah,” maksudnya pujaannya sudah menikah dengan tetangga sebelah rumahnya, demikian tulisnya di SMS, dahulu waktu Rani mau menikah kira-kira 10 tahun lalu, hanya ada handphone belum ada Facebook, BlackBerry, atau Twitter seperti sekarang.Sehingga tidak ada komentar ramai-ramai seperti yang biasa dilakukan baik melalui Facebook, BlackBerry atau Twitter.

Setelah 10 tahun kemudian, kami dikejutkan lagi dengan berita kematian Suami Rani, akibat sakit Kanker Pancreas, dan kemudian di status social site-nya yang terakhir membuat hati ini miris, dan segera kami minta, Rani mencabut statusnya, “Gak enak tho, Ran, sebab Suamimu kan baru seminggu meninggal, jangan sampai orang berfikir yang bukan-bukan mengenai rumah tanggamu, bila ada apa-apa yang tidak nyaman, baiknya disimpan sendiri saja, jangan sampai yang lain tahu soal itu atau meduga yang tidak tidak,” Aisyah salah satu kawan kami yang sekarang sudah menjadi Ustadzah dan anak anaknya pun rata-rata sudah selesai menghafal al-Qur'an, menyitir hadits-hadits tentang Suami-istri serta ayat Qur’an di dalam surat al-Baqarah ayat 187, sudah dijelaskan bahwa, “…mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka…” Selain itu Aisyah memberi pesan singkat, “barangsiapa menutup aib seseorang maka Allah akan menutup aibnya…”

Tidak ada yang salah maupun benar, mungkin hanya khilaf, namun dalam berumah tangga, sebaiknya hari-hari kita isi dengan tekad saling menyenangkan bagi pasangan kita, masing-masing. Istri memberi yang terbaik bagi Suaminya, pun Suami memberikan yang terbaik bagi Istrinya, sehingga ketika salah satu diantara pasangan Suami-istri itu ada yang sudah tiada, maka yang tersisa adalah kenangan yang terindah saja.

Memang betul, Suami Rani adalah sosok Suami yang melindungi Istri, dan mungkin ketika sedang khilaf atau tidak tahan menahan emosi atas sebuah pertengkaran, tak sadar tangannya melayang menampar wajah Istrinya, dan memang bagi sebagian kecil Suami, menampar adalah solusi tercepat untuk menyelesaikan masalah, apalagi perempuan biasanya mulutnya tidak berhenti nyerocos, ngomel dan ngedumel yang seringkali hal tersebut bikin puyeng Suami.

Apalagi bila sang Suami baru pulang dari kerja, yang mana jalanan juga macet ditilang polisi pula, di Kantor juga kerjaan dianggap tidak beres-beres oleh bosnya, gajian juga masih lama dan banyak masalah berat lainnya, bila disambut dengan omelan sang Istri, maka kekesalan dan kepenatan serta sumpeknya beban membuat sang Suami, khilaf dan menampar Istrinya.

Dalam hal ini, baik Istri maupun Suami, sebaiknya sama-sama menahan diri, ciptakanlah hari-hari dengan akhlak dan kenangan yang indah, sehingga yang diingat Suami kita terhadap kita hanya yang manis-manis saja, pun yang diingat oleh Istri kita pada sang Suami adalah yang manis-manis juga, jangan sampai ada lagi bunyi status di Twitter yang tidak nyaman buat siapapun yang membacanya. Kenangan yang manis dan buruk bercampur menjadi satu, menorehkan luka ditengah cinta seorang Istri yang Suaminya telah tiada.

Read More..

IBU SANG PEMBOHONG


Ibuku Seorang Pembohong ? Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian.
Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan.

PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.
Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga.. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.
Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.
Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.
Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepatmenolaknya dan berkata : “ Minumlah nak, ibu tak haus !! ”

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.
Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.
Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.
Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerima berita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya.

Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus.. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetaptersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.”

Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak2nya. Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah.” Tapi tidak saya lakukan, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu.

Sayangi ….. Hormati ….. Abdikan Diri ….. Kepada IBU kita Salagi ADA !!!

Wallohu A’lam
(Cerita seorang IKhwan katanya : ( Simaklah Semoga Bermanfa’at ))

Read More..