Kamis, 15 Januari 2009

Berdamai dengan TAKDIR........


" Apakah manusia dibiarkan untuk mendapatkan semua yang dia inginkan? Jika demikian, lantas apa yang ia sisakan dari kenikmatan surga?"

Seorang teman beberapa saat lalu menerima pengumuman dari sebuah yayasan beasiswa internasional bahwa dirinya tidak lulus. Ini kegagalan yang tidak main-main. Pertama, kegagalan ini bukanlah kegagalan perdana. Lima kali sudah ia mengikuti program ini, sejak menyelesaikan S1 Hukum di universitas kesohor di Bandung. Dan yang kedua, untuk kelima kalinya, dia mengikuti rangkaian tes itu hingga ke tahap-tahap akhir.
Kali terakhir ini, ia telah melewati seleksi awal, dari seribu orang, tinggal tersisa seratus. Dari seratus orang yang tersisa, ia lolos ke lima puluh orang yang mengikuti seleksi di Jakarta. Disana, ia pun terpilih dalam lima kandidat penerima beasiswa kuliah di Austria. Tapi, apa lacur.... pengumuman terakhir tidak mencatumkan namanya.
Kekecewaan, jelas saya bisa menemukan pada wajah teman saya itu. Dari rangkaian tes yang ia jalani menunjukan bahwa dia mampu dan layak. Usaha yang dia lakukan pun bukan lagi sepele. Kesungguhannya nyata sekali. Sudah tak terhitung lagi berapa besar biaya ia habiskan untuk mengikuti rangkaian tes itu, dari penyediaan berkas, akomodasi dan transportasi, juga kelelahan fisik yang harus ia tanggung. Tapi sekali lagi, ia mengalami kegagalan pada saat-saat terakhir.
Dari teman saya itu saya belajar banyak hal, namun satu yang begitu membekas pada saya, bahwa pada suatu saat kita perlu berdamai dengan takdir. Kita harus belajar memaafkan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah penentu atas apapun yang terjadi pada diri kita.
Ketidaklulusan teman saya dalam program beasiswa itu bukanlah indikasi bahwa dirinya tidak mampu. Keberhasilannya melaju ke seleksi terakhir hingga beberapa kali menjadi bukti bahwa ia layak menerima beasiswa itu. Tapi permasalahan tidak sebatas pada layak atau tidak. Ada skenario takdir atas tiap-tiap usaha.
Bermimpi bukanlah hal yang memalukan. Kegagalan semacam itu juga bukan aib. Seorang pahlawan yang gugur dalam peperangan bukanlah pecundang.
^^^
Sampai hari ini, saya masih menyimpan impian untuk bisa kuliah di Ekonomi. Sungguh saya masih menyimpan impian untuk menjadi akuntan sebagaimana dari awal saya sekolah di SMEA, saya telah meletakkannya sebagai cita-cita. Kalaupun kemudian saya 'tersesat' ke bidang yang lain, itu adalah takdir yang harus saya maklumi. Dalam hal ini, saya berusaha untuk 'berdamai' dengan Nya atas apa yang ia tentukan pada saya.
Kalaupun hingga saat ini saya tak juga 'mampu' untuk kuliah, bukan lantas saya berhak dengan semena-mena mematikan impian saya yang saya anggap 'mulia' ini. Saya telah memaksimalkan usaha saya. Namun biaya adalah hal pokok bagi saya, rasanya memang tak cukup hanya dengan niat dan tekad. Seberapa besar kemampuan niat untuk seorang dengan ekonomi di bawah pas-pasan seperti keluarga saya? Bahkan, saat SMEA pun saya harus pontang-panting mengejar bayaran-bayaran SPP dan sebagainya.
Saat 'uang tabungan" saya raib begitu saja karena dibawa lari teman yang sebelumnya begitu saya percaya, saya masih bisa menghibur diri, "Nantilah, saya akan melanjutkan kuliah tiga atau empat tahun lagi. "Saat ini, yang harus saya lakukan adalah menabung." Tapi, lagi-lagi kehendak Allah bicara lain. Ijazah SMP dan SMEA saya ikut raib ulah sebuah perusahaan gelap di Jakarta. Saat itu saya sangat 'bodoh' dengan bersedia menyerahkan ijazah tersebut pada sebuah PT yang mengaku akan memberi saya pekerjaan di bilangan Gambir, Jakarta. Sepekan sesudah itu, saya mendatangi alamat, ternyata PT itu adalah PT gelap.
Dengan semua itu, impian saya untuk kuliah di Fakultas Ekonomi serasa ikut terbang, hilang. Tapi, tidak. Saya tidak boleh demikian, menganggap takdir sebagai kesemenaan. Saya selalu percaya Allah punya rencana tersembunyi atas setiap makhluk. Allah memiliki rancangan atas hidup seseorang tanpa harus menunggu orang itu menyetujui atau tidak.
Saat terantuk kegagalan, yang saya lakukan adalah memutar ulang pemikiran saya, menelusuri kembali cara pandang saya terhadap hidup, memutuskan untuk memulai kembali sebuah impian.
Hidup bukanlah kegagalan sepanjang kita berusaha.
^^^
Dari 'menulis', saya menemukan satu pelajaran berharga. Pertama kali menulis, tulisan saya ditolak-tolak di media. Saya terus mencoba dan mencoba. Saya menulis dan menulis kembali. Hingga.... akhirnya tulisan saya diterima disebuah media, berlanjut kemudian dengan tulisan-tulisan saya berikutnya. Ditahun 2001 untuk pertama kali ada sebuah penerbit yang mau membukukan tulisan-tulisan tersebut.
Tulisan-tulisan saya yang tertolak, atau terbuang di tempat limbah, dimuat di truk sampah, bukanlah sebuah kegagalan yang 'dikaruniakan' Allah kepada kita adalah seperti kita menekuni jenjang-jenjang SD, SMP, dan seterusnya. Walau nantinya yang kita pergunakan --untuk bekerja misalnya-- adalah ijazah SMA, kita tetap harus menjalani prosesnya. Yang kita perlukan dalam hidup bukanlah 'ijazah' kesuksesan, tetapi 'proses' dan 'menjadi.'
^^^
Konon, seorang penulis terkenal, saat menulis cerpen, dia selalu membuat lebih dari lima alinea pembuka. Dari kelima alinea pembuka itu, ia memilih satu yang paling baik. Lantas, sisanya dibuang begitu saja. Di-delete dari program komputernya. Apakah keempat alinea yang terhapus itu tidak berguna? Jika demikian, mengapa si penulis harus bersusah payah menulis empat alinea itu? Silakan Anda menjawab sendiri
Hidup bukanlah kekalahan sepanjang kita berusaha menjadi pahlawan. Kalimat itu semacam penggembira, semacam kasidah terakhir yang sepatutnya kita dendangkan saat kita menemui kegagalan dalam hidup.
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil pekerjaanmu."

Tidak ada komentar: