Rabu, 22 April 2009

Para Pensiunan, Fondasi TELKOM


Ada terbersit rasa bangga tatkala saya menyaksikan tayangan peluncuran Telkom 007 untuk hubungan SLI. Betapa megahnya, betapa semaraknya dan tentu juga betapa besar biayanya untuk keperluan marketing SLI 007 tersebut. Meskipun di era globalisasi ini hampir semuanya serba western, walau nyatanya Telkom gemar menggunakan jargon-jargon Yankee seperti: Telkom Committed 2 U, atau 007 the Real Connection, namun saya yakin bukan karena James Bond maka dipilih angka 007 oleh Direksi Telkom. Dulu ia menyebut satelitnya dengan nama “Palapa”, maka kini karena “keistimewaan” angka 7 itu sendiri yang sudah dibeberkan oleh Telkom, yaitu: tujuh lapis langit, tujuh lapisan bumi, tujuh benua, tujuh samudra, tujuh keajaiban dunia. Masih ada ljo yang lain: tujuh klasifikasi, eh, maaf, dua klasifikasi penerima manfaat pensiun Telkom.Sejujurnya rasa bangga itu tidaklah meledak-ledak apalagi dengan melonjak sembari berteriak, sebab ada sebuah pemikiran yang menyelinap, ..
bahwa: “Dulu kami sebenarnya bisa melaksanakan, andaikata stasiun satelit Jatiluhur tidak dilepas dan terpisah menjadi PT Indosat, sehingga ada pengkhususan domestik dan internasional”. Pikiran serupa pun menyelinap terhadap berkibarnya banyak perusahaan telekomunikasi seluler, “Dulu kami sebenarnya bisa melaksanakan, andaikata tidak untuk menyemai benih privatisasi, sehingga kami lepaskan dan cukup kepemilikan bersama saja”. Maha karya peninggalan pensiunan Telkom klasifikasi pertama, baik yang masih ada maupun yang telah meninggal dunia, adalah fondasi yang menopang bangunan Telkom saat ini. Layaknya sebuah fondasi, tertanam di tanah dalam kegelapan dan kesunyian. Karena tak terlihat, maka nyaris tak menarik perhatian dari mereka yang berseliweran di dalam bagunan di atas lantai yang disangga kokoh oleh fondasi itu sendiri. Diantara para pembikin maha karya itu, ada yang menghabiskan hari tuanya dengan jari tangan kanan selalu bergemetaran karena sebagai telegrafis setiap hari mengirimkan berita melalui ketokan pesawat morse. Ada yang naik turun gunung mengukur ketinggian, kemiringan, kelebaban, garis lintang dan line og sight yang bebas hambatan untuk mencari lahan yang tepat bagi setasiun repeater microwave. Ada yang harus pensiun sebelum masa pensiun normal karena terganggu pikiran dan jiwanya setelah bertugas di tempat sepi, di puncak gunung, atau di pulau kecil yang terpencil. Ada mantan kepala setasiun radio kecil di pelosok, sekaligus juga administratur (keuangan, perhubungan dan gudang), motorist penjaga dan perawat genset, teknisi, telegrafis-telefonis dan zender wacht. Ia bekerja nyaris 24 jam tanpa menuntut lembur, meskipun gaji bulanan pada zamannya selalu terlambat diterima. Dalam diam mereka menyaksikan semua ingar bingar gemerlap Telkom saat ini, sementara badannya yang renta masih harus berkarya berbasah keringat terpanggang oleh teriknya matahari kehidupan. Mereka masih belum bisa duduk manis, tetapi dengan tegar berbisik: “Dulu kami sebenarnya bisa melaksanakan kalau tidak karena mendukung kebijakan pemerintah, maka tolong jangan gundahkan hati kami yang telah renta ini.” [Djaka Rubiyanto]
(Dimuat di Pikiran Rakyat, 6 Juli 2004)

Tidak ada komentar: