Jumat, 13 Januari 2012

Belajar Kearifan Hidup dari Kang Ibo


“life is not for eat, eat is not for life, life is about struggle”

Ungkapan bijak itu tidak saya peroleh dari seorang filsup di twitter yang accountnya saya follow, tidak juga saya dapat dari seorang seleb di TV atau seorang motivator di seminar entreprneurship. Akan tetapi dari seorang petani sederhana di Kp. Cidahu, Ds. Mekar Wangi, Kec. Cisayong Tasikmalaya.

Petani itu, Hendra Kribo namanya, telah menyadarkan saya bahwa inti dari kehidupan adalah proses dan bukan hasil akhir. Dalam proses terkandung perjuangan yang tiada henti, untuk mendapatkan hasil terbaik. “Hasil akhir ini urusan Allah, karena dialah sesungguhnya yang Maha Menilai” katanya.

Wow. Darimanakah Hendra atau Kang Ibo (dari Kribo) mendapatkan kearifan ini? dari seminar? dari para seleb? dari internet? Bukan Sodara. Sederhana saja. Kang Ibo mendapatkannya dari pengalamanan hidupnya yang sangat berwarna.

Sebelum menjadi petani padi menggunakan pola tanam SRI (System of Rice Intensification) alias budidaya padi organik, Kang Ibo menghabiskan separuh usianya di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagai anak petani, dan cucu seorang ajengan di kampungnya, ia disekolahkan di PGA (Pendidikan Guru Agama), agar nantinya bisa menjadi guru mengaji. Disini ia malah tak betah. Sekolah di PGA tidak ia selesaikan karena lebih banyak bergaul dengan anak-anak geng motor. Idolanya saat itu adalah (alm) Gito Rollies, yang memang terkenal urakan dan menjadi model untuk kaum hippies di Indonesia saat itu, sekitar tahun 1970an.

Tak puas dengan kehidupan ala hippies di Tasik yang ala kadarnya, ia kemudian ke Bali, dan menjadi anak pantai. Tinggal di kawasan Kuta dan Legian, Ibo menjadi pemasok aneka kebutuhan turis. Apapun itu, sejak menemani turis ngobrol di bar dan kelab malam, hingga menyediakan (maaf) ; perempuan penghibur, ganja dan mariyuana.

Lalu, bagaimana Ibo berkomunikasi dengan konsumennya? bisakah ia berbahasa Inggris? Disinilah ia mempraktekan apa yang disebut sebagai learning by doing. Ia belajar dengan bertanya langsung kepada para penutur aslinya. Ia bertanya apa bahasa inggrisnya tangan, hidung, kaki, meja, kursi hingga mampu merangkai kalimat. Dengan cara itulah dia hidup

Ibo mengakui, saat itu meski uang bisa didapatnya mudah, hatinya merasa gelisah. Dalam kontemplasinya, ia disadarkan bahwa sebagai cucu ajengan, ia tidak sepantasnya mencari uang dengan cara itu. Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya.

Di Tasik, karena sudah babalik pikir alias sadar, Ibo disambut bak seorang pahlawan. Ia yang ingin berguru malah diangkat sebagai panutan. Maklum cucu kiai, apalagi kemudian dianggap sukses saat merantau di Bali. Hal ini membuatnya malu dan salah tingkah. Sudah terlanjur dianggap hero, Ia pun lantas mengelola sepetak sawah milik bapaknya.

Model pertanian konvensional yang digunakan para petani ternyata tidak memikatnya. Menurutnya apa yang dilakukan para petani termasuk bapaknya adalah pertanian simalakama. Bertani untuk bertahan hidup, bukannya malah sejahtera, hasilnya tidak seberapa. Ini karena saat mengelola sawahnya, petani bertanya cara2 bertani kepada mereka yang tidak paham cara bertani. “Mereka datang ke toko pupuk yang notabene tidak hidup di sawah, Untuk mengusir hama, petani malah diberi obat-obat kimia” ujarnya.

Kang Ibo kemudian memelopori budidaya padi organik dengan cara SRI itu. Ia menyemai padi dengan belajar dari kearifan alam. Ia kembalikan kesuburan tanah dengan tidak memberinya racun dari pupuk urea dan pestisida. Sebagai gantinya, Ia menggunakan kompos, dari kotoran hewan dan buah-buahan busuk. Untuk menyaring air agar tidak terkontaminasi zat-zat berbahaya, ia menggunakan eceng gondok sebagai penyaring. Untuk mengusir tikus, ia menumbuk jengkol, merendamnya dan mengambil saripatinya untuk kemudian disemprotkan di pematang dan lubang-lubang tikus. “Kita tidak perlu membunuh (tikus), biarlah ular sebagai pemangsa alami yang membereskannya, agar ekosistem terjaga” katanya.

Pada awalnya, upaya Ibo menanam padi organik banyak dicibir para petani di kampungnya. Banyaknya cibiran malah melecut semangatnya untuk terus bertani dengan cara ini. Hasilnya, hasil budidaya organik ternyata lebih baik dari sisi waktu dan hasil panen hingga dua kalinya. Dengan hasil panen seperti ini pun masih banyak yang tidak percaya. “Sekarang tugas saya yang lain adalah mengikis penyakit “atuda” (penyangkalan) dan “keheula“ (nanti dulu) para petani untuk beralih ke budidaya organik” katanya sembari tertawa.

Saat ini, caranya bertanam padi organik ditiru banyak petani. Tak hanya di Tasikmalaya juga di berbagai wilayah lain di Indonesia. Petani dari Flores, Bali, Malang Jawa Timur dan Boyolali Jawa Tengah selama seminggu belajar di Sawah Ibo. Sosiolog Imam Prasodjo pun merasa perlu mengundang Ibo ke Purwakarta untuk mengajari petani binaannya di sana.

“Eh Kang, disebut Kribo ini karena rambut Anda memang kribo ya?” tanya saya. “Satu itu, yang kedua, Kribo ini singkatan” jawabnya. “Singkatan apa” tanya saya lagi. ” Kreatif Rakyat Inovatif Budidaya Organik” jawabnya kalem.

Halah …. (*)


Tidak ada komentar: